Hanya gara-gara mahar yang tidak sesuai keinginan calon keluarga istri, sebut saja Yuli (36), Parjo (37) nama samaran, ditolak mentah-mentah calon mertua untuk menikahi anaknya. Namun, dampaknya, setelah batal menikah, Yuli sakit-sakitan. Oalah.
Ditemui Radar Banten di Kecamatan Padarincang, Parjo siang itu duduk di saung pinggir sawah. Sambil mengisap rokok yang terselip di antara kedua jarinya, Parjo menceritakan kisah pahit perjalanan cintanya menuju mahligai rumah tangga.
Parjo tidak pernah menyangka pernikahannya gagal hanya gara-gara mahar yang tidak sesuai keinginan calon mertua. Parjo yakin seratus persen kalau Yuli bukan tipikal wanita yang maruk terhadap harta. “Itu tuh kemauan emaknya Yuli,” keluhnya. Sabar, Kang.
Apalagi Parjo dulu bekerja sebagai buruh tani, hanya mampu menyediakan mahar tak lebih dari lima gram emas untuk menggaet Yuli sebagai istrinya. Itu pun dibantu orangtuanya. Nyatanya, keluarga calon mempelai meminta mahar lebih dari yang disediakan Parjo.
“Mereka minta mahar emas 20 gram. Proses tawar menawar gagal. Sedih banget, sampai saya ngerasa jadi lelaki paling menderita di dunia waktu itu,” sesalnya. Wih, lebay.
Padahal, diceritakan Parjo bahwa dia dan Yuli sudah berteman sejak kecil. Rumahnya juga hanya beda kampung membuat keduanya sering bertemu dan sering curhat. Sampai akhirnya, mereka lulus SMA dan mulai memikirkan masa depan masing-masing. Karena sering komunikasi dan jalan bareng, keduanya jadi merasa ada ketertarikan satu sama lain. Parjo merasa nyaman dekat Yuli meski wajahnya biasa saja. Yuli meskipun termasuk orang punya, tetapi tidak sombong, sikapnya baik. “Dia tuh tipe saya banget, orangnya sederhana,” pujinya. Eaaa.
Lain dengan Parjo yang sosoknya lumayan tampan, tubuhnya juga ideal. Sayangnya, Parjo tidak beruntung dalam hal ekonomi, keluarganya hanya buruh tani. “Mau sekolah kagak ada biaya, mau kerja pabrik juga sekarang kudu nyogok, ribet,” kesalnya.
Singkat cerita, keduanya memutuskan untuk menjalin hubungan spesial. “Saya tembak dia di pinggir sawah, ngomongnya sampai gelagapan, tapi, alhamdulillah, diterima,” akunya. Syukur deh.
Mereka akhirnya berpacaran. Selama pacaran, Parjo sering diperlakukan romantis oleh Yuli, suka dibawakan makanan ke sawah dan dibelikan sesuatu. Kata Parjo, Yuli juga orangnya perasa. Kalau ada hal yang mengganjal atau tidak enak di hatinya, pasti langsung menangis. “Baik banget dia mah,” pujinya lagi.
Enam bulan menjalani pacaran, keduanya mulai mengarah ke hubungan lebih serius dan mulai merencanakan pernikahan. Parjo dan Yuli komitmen menabung untuk biaya pernikahan. Hasil dari tabungan hanya cukup untuk membeli mas kawin lima gram. Akhirnya, Parjo memberanikan diri menemui calon mertua untuk melamar Yuli.
Awalnya semua berjalan lancar, Parjo diterima baik calon mertua, begitu pun sebaliknya. Angin segar mulai mereka rasakan, angan-angan indah bisa hidup berumah tangga mulai dikhayalkan Parjo. “Sudah enggak tahan pokoknya pengin nikah, soalnya semua teman saya sudah pada menikah. Kalau pergi kondangan berdua pasti ditanyain kapan nikah,” kenangnya.
Sebulan kemudian, calon mertua memberitahukan kalau mereka pengin mahar sebanyak 20 gram. Tentu saja Parjo kaget mendengar pengakuan Yuli tentang permintaan mahar itu. Besoknya, Parjo kembali mendatangi rumah Yuli bersama bapaknya untuk berunding. Sayangnya, hasil rundingan gagal. Calon mertua tetap keukeuh meminta Parjo menyediakan mahar emas 20 gram. “Akhirnya bapak nyerah, saya juga pasrah,” keluhnya.
Jadwal pernikahan yang sudah digembor-gemborkan Parjo kepada tetangga dan teman-temannya pun terpaksa harus dikubur dalam-dalam. Omongan tak sedap mulai menyebar di kampung. Parjo harus menanggung malu karena setiap ibu-ibu kumpul membicarakan kegagalan pernikahan itu. Sampai akhirnya, Parjo mendengar kalau Yuli jatuh sakit selama sebulan akibat gagal menikah. “Orang nuduhnya saya ngirim guna-guna, ya enggaklah, ngapain,” kesalnya.
Bukannya meminta maaf kepada Parjo, orangtua Yuli malah curiga anaknya diguna-guna dan memanggil orang pintar untuk membuktikan kejujuran Parjo. Akhirnya, orangtua Yuli menyadari kalau anaknya sakit karena beban pikiran dan meratapi kesedihan karena gagal menikah. Tak tega melihat Yuli, pihaknya keluarga akhirnya merestui pernikahan mereka. “Alhamdulillah akhirnya kita nikah juga. Mahar ditolak, cinta bertindak,” ucapnya. Bisa saja.
Kini, Parjo dan Yuli hidup bahagia dan dikaruniai dua anak. Mereka hidup sederhana, Parjo menggarap sawah milik keluarga mertua. “Walau masih garap sawah mertua, tapi bersyukur sajalah,” pungkasnya. Semoga langgeng ya. Amin. (mg06/zai/ira)