SERANG – Upaya kasasi yang ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) tak membuat mantan direktur RSUD Banten Dwi Hesti Hendarti patah arang. Terpidana korupsi dana jasa pelayanan (jaspel) kesehatan RSUD Banten senilai Rp2,3 miliar itu menempuh upaya hukum luar biasa.
Upaya peninjauan kembali (PK) tersebut telah dilayangkan Dwi Hesti ke MA melalui Pengadilan Negeri (PN) Serang.
“Iya benar, beberapa hari yang lalu kami telah menerima upaya PK perkara jaspel pada RSUD Banten tahun 2016 senilai Rp2,3 miliar atas nama Dwi Hesti Hendarti,” kata Panitera Muda (Panmud) Tipikor Serang Anton Praharta, Senin (13/5).
Dwi Hesti Hendarti divonis tiga tahun penjara di Pengadilan Tipikor Serang, Rabu (24/1/2018). Dia juga dibebani denda sebesar Rp100 juta subsider lima bulan kurungan dan uang pengganti sebesar Rp782 juta subsider satu tahun penjara.
Vonis itu lebih ringan dibandingkan tuntutan penuntut umum Kejari Serang. Dwi Hesti dituntut pidana selama tujuh tahun penjara. Dia diwajibkan membayar uang pengganti Rp1,33 miliar lebih subsider satu tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider lima bulan kurungan.
Atas vonis tersebut, Dwi Hesti mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Banten. Tetapi, hukuman Hesti diperberat pada tingkat banding. Hesti dijatuhi hukuman lima tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider lima bulan kurungan. Serta diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp782 juta subsider satu tahun penjara.
Dwi Hesti masih belum puas. Dia mengajukan upaya kasasi ke MA. Namun, permohonan Hesti ditolak MA. Sehingga, hukuman Dwi Hesti sesuai vonis banding. “Sidang perdana PK pada Senin 20 Mei 2019. Untuk majelis hakimnya, Sigid Triyono, Muhammad Ramdes, dan Yarna Dewita,” kata Anton.
Terpisah, Kepala Kejari Serang Azhari mengaku telah menerima pemberitahuan mengenai upaya PK tersebut. “Pemberitahuan PK-nya sudah, tapi jadwal sidangnya belum kami terima,” kata Azhari didampingi Kasi Pidsus Kejari Serang Sulta Donna Sitohang.
Dugaan korupsi itu bermula pada 2016 saat dianggarkan dana sebesar Rp17.872.705.241. Dana tersebut diambil dari pendapatan RSU Banten sebesar Rp41.182.933.475. Untuk teknis pembagian insentif dana jaspel, terdakwa menerbitkan dan mengeluarkan surat keputusan (SK) Nomor: 821/0514/RSUD/VI/2016 tanggal 1 Juni 2016.
Sebelum menjadi 44 persen, dana jaspel di tahun 2015 dianggarkan 39 persen. Maret 2016 mengalami perubahan setelah terdakwa memerintahkan kepada tim penghitung dana jaspel untuk mengubah persentase dana jaspel dari 39 menjadi 44 persen atau naik lima persen.
Kenaikan persentase jaspel tersebut oleh Dwi tidak diberitahukan kepada seluruh karyawan rumah sakit. Kenaikan insentif tersebut hanya diberitahukan kepada Wakil Direktur Penunjang Madsubli Kusmana, Wakil Direktur Pelayanan Kesehatan Lilianni Budiyanto, dan Wadir Kesehatan Iman Santoso. Dari 44 persen dana jaspel yang dianggarkan, 6,2 persen sampai 6,3 persen ditransfer kepada empat direksi yang satu di antaranya Dwi. Keempatnya menerima dana jaspel dari bulan Juni sampai dengan Desember 2016.
Setelah ditransfer ke rekening tiga wakil direktur, selanjutnya sebagian besar dana jaspel tersebut diserahkan ke Dwi. Penyerahan dilakukan dengan cara tunai dan transfer melalui rekening Bank bjb milik Dwi. Dana jasa pelayanan medis 6,2 persen sampai dengan 6,3 persen merupakan dana yang ditempatkan oleh tim penghitung jaspel, sesuai dengan instruksi terdakwa di direksi dengan perincian 1,2 sampai dengan 1,3 persen sebagai dana un cost dan lima persen sebagai dana yang digunakan untuk kepentingan akreditasi rumah sakit.
Sedangkan dana un cost di sini digunakan Dwi untuk keperluan tidak terduga.
Akibat perbuatan terdakwa terdapat kerugian keuangan negara sebesar Rp1,8 miliar lebih. Dari Rp 1,8 miliar tersebut, kerugian negara sebesar Rp1,068 miliar harus ditanggung oleh pihak lain. Sebab, dalam penggunaan dana jaspel untuk persiapan akreditasi sebesar Rp1,068 miliar dilakukan tanpa mekanisme lelang. (mg05/nda/ira)