SERANG – Pemprov Banten telah menyelesaikan pembebasan lahan untuk Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banten seluas 9,7 hektare di Kecamatan Walantaka, Kota Serang sejak 2016 lalu, tetapi hingga saat ini Pemprov belum bisa memulai pembangunan fisiknya karena harus menunggu masterplan dan detailed engineering design (DED).
Akibat belum memiliki RSJ, penanganan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Provinsi Banten belum optimal. Bahkan di beberapa daerah, penderita gangguan jiwa terpaksa harus dipasung oleh keluarganya agar tidak berkeliaran.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Banten Sigit Wardojo membenarkan bila pembangunan RSJ belum bisa dimulai tahun ini kendati pembebasan lahannya sudah selesai dilakukan Pemprov Banten pada 2016. ”Sekarang tinggal menunggu masterplannya dan persiapan DED dan yang lainnya. Tapi sebelum melakukan pembangunan fisik, kita siapkan dulu SDM-nya, percuma nanti ada gedungnya kalau tidak ada SDM-nya,” kata Sigit kepada Radar Banten, Senin (17/4).
Menurut Sigit, diperkirakan masterplan dan DED selesai tahun ini sehingga tahun depan sudah bisa dimulai pembangunan fisiknya. “Diperkirakan pembangunan fisik gedung RSJ Banten akan selesai tiga sampai empat tahun mendatang,” katanya.
Berdasarkan data Dinkes, masyarakat di Provinsi Banten yang mengalami gangguan jiwa sebanyak enam persen dari total penduduk sekira 11 juta jiwa atau berkisar 660 ribu jiwa.
“Di RSJ Banten nantinya dibangun sejumlah sarana penunjang, karena kalau RSJ butuh tempat pembinaan,” ungkapnya.
Berbarengan dengan pembangunan fisik nanti, lanjut Sigit, Dinkes pun akan membuka penerimaan dokter jiwa, karena sampai saat ini, Provinsi Banten belum memiliki tenaga medis khusus tersebut. “Kita akui sekarang belum ada, karena sudah masuk MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), bisa saja dokternya dari luar negeri,” jelas Sigit.
Sebelumnya, Komisi V DPRD Banten mendesak agar keberadaan Perda ODGJ di Banten segera direalisasikan. Dengan harapan ke depan penanganan ODGJ di Banten tidak ada lagi harus dipasung oleh keluarganya.
Ketua Komisi V DPRD Banten, Fitron Nur Ikhsan mengatakan, dirinya menemukan langsung ODGJ yang dipasung saat melakukan kunjungan ke Desa Cisaat, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang akhir pekan lalu. “Perda terkait perlindungan ODGJ sangat mendesak, di dalamnya mengatur larangan pasung, dan layanan kesehatan bagi mereka harus tersedia. Kalau bisa dipastikan tersedia di puskesmas. Penting juga mendata seberapa banyak penderita gangguan jiwa yang dipasung di Banten, ini harus jadi progran khusus,” katanya.
Politikus muda Partai Golkar ini pun meminta Pemprov Banten dan DPRD Banten untuk segera membahas rancanangan Perda tentang Perlindungan ODGJ sebelum Banten memiliki RSJ. “Beberapa waktu lalu Banten sudah merencanakan perda bebas pasung. Ini harus didukung dengan seperangkat program dan aturan yang lengkap,” jelasnya.
Ia menambahkan, ODGJ dapat disembuhkan dan harus memastikan semua penderita memiliki dokumen kependudukan agar dapat mengakses layanan bantuan dan layanan kesehatan secara mudah dengan skema bantuan yang ada. Untuk ke depan, kata dia, pemerintah harus membentuk tim task force untuk optimalisasi program ODGJ dan di Banten yang sudah ada Tim Pengarah Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM). Namun pemerintah Kabupaten Kota harus optimalkan tim ini dengan daya dukung program dan anggaran yang memadai. “Kami sedang mencoba untuk turun menemui para penderita yang dipasung, memang dinamika psikologi yang cukup dalam untuk mendorong penuntasan penderita seperti ini, kita juga akan memaksimalkan Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan tim, serta dibantu oleh kecamatan dan desa harus sinergis dalam menyuksesan program Banten Bebas Pasung. Ke depan kita juga akan memiliki rumah sakit jiwa. Jadi semua rencana aksi harus dibuat secara lengkap agar kita dapat menyukseskan bebas pasung. Perda inisiatif juga sudah masuk prolegda dan akan menjadi perda inisiatif Komisi V tahun ini,” jelasnya.
Sementara Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Banten Nurhana menambahkan, Provinsi Banten memiliki program bebas pasung dan Dinas Sosial Provinsi Banten akan berkordinasi dengan pemerintah kabupaten kota, serta Dinas Kesehatan terkait. (Deni S/Radar Banten)