SERANG – Masyarakat Pulau Sangiang, Desa Cikoneng, Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang menilai upaya Pemkab Serang merelokasikan 48 Kepala Keluarga (KK) tidak berhati-hati dan tidak paham medan. Sebab, di Pulau Sangiang terdapat tanah tandus yang kurang produtif untuk pertanian.
“Yang tahu medannya itu, kan masyarakat. Kalau Pemerintah, kan 50 hektar dibagi 48 KK dapat 1 hektar itu untung. Tapi itung-itungan di lapangan, ada yang tandus, ada yang subur, sedangkan yang subur itu sudah kami lihat masuk HGB semua. Sedangkan HGB nya itu menurut kami belum sah,” ucap Sopian Sauri, Warga Pulau Sangiang di ruang K.H Syam’un, Pemkab Serang, Kota Serang, Kamis (23/11).
Dijelaskan dia, seandainya pemerintah memberikan opsi sesuai dengan keinginan masyarakat Pulau Sangiang, mereka setuju untuk direlokasi.
“Kalau mereka (Pemkab-red) merelokasikan kami ke tempat tandus, kami tolak. Jangankan 50 hektare, 400 hektare kalau semuanya tandus, kami tolak, ngga ada manfaatnya buat kami. Kami, kan petani disitu,” paparnya.
“Bisa aja direlokasi ke siuatu tempat itu trik mereka, nanti tertutup akses masuk kami. Itu udah terjadi tahun 1999. Pengalaman kami tidak boleh masuk ke dermaga. Pintu masuknya di portal,” ucapnya.
Berita sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Serang memberi alternatif akan merelokasi masyarakat Pulau Sangiang, Desa Cikoneng, Kecamatan Anyar, yang berada di wilayah Hak Guna Bangunan (HGB) PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) ke areal Taman Wisata Alam (TWA) seluas 50 hektare untuk 48 kepala keluarga (KK).
“Opsi kedua, mereka bisa hidup berdampingan dengan pengembang taman wisata di sana. Ternyata dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) tidak mau direlokasi. Silakan digugat ke hukum, kalau memang ada keraguan terhadap HGB,” papar Wakil Bupati Serang Pandji Tirtayasa usai melakukan pertemuan bersama masyarakat Pulau Sangiang, di ruang K.H Syam’un, Pemkab Serang, Kota Serang, Kamis (23/11).
Dijelaskannya, pihaknya tetap ingin melindungi kehidupan masyarakat Pulau Sangiang. “Kami hanya bisa (memberikan) jalan tengah. Pengembang tetap jalan, tapi masyarakat tetap terlindungi. Direlokasi juga masih tetap di situ (Pulau Sangiang,-Red),” ucapnya.
Seandainya tetap tidak mau direlokasi, menurut Pandji, HGB yang berlaku harus dimentahkan terlebih dahulu. “Selama HGB-nya masih berlaku dan sah, kemudian masyarakat dianggap menempati HGB milik PKP, bisa bermasalah,” tuturnya.
Dikatakannya, masyarakat sendiri yang bisa membatalkan HGB dengan cara menggugat bahwa telah terjadi malpraktik saat keluarnya HGB. “Pemda tidak bisa masuk ke situ. Termasuk Pemda tidak mau ikut campur ke sana, itu kan domain polisi. Apalagi membuat memo, bahwa itu masalah perdata, sama dengan intervensi,” ungkapnya.
Dari 48 KK yang menempati HGB, teridentifikasi 10 KK. 38 KK lainnya sudah menempati Taman Wisata Alam (TWA). Namun, yang menjadi permasalahan adalah akses dermaga masyarakat yang sudah turun temurun, kemudian diklaim oleh perusahaan.
“Karena itu pintu masuknya. Pintu masuknya strategis. Kalau siap direlokasi tinggal membuat pintu dermaga yang baru,” tukasnya.
Pada kesempatan itu hadir juga Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sri Budi Prihasto, Sekretaris DLH Kostaman, Camat Anyar Khairil Anwar, tim advokasi masyarakat Pulau Sangiang dan perwakilan masyarakat Pulau Sangiang. (Anton Sutompul/antonsutompul1504@gmail.com).