TANGERANG – Grafik angka perceraian pasangan suami istri (pasutri) di Tangerang Raya begitu tinggi. Fenomena baru yang menyebabkan rusaknya bangunan rumah tangga, yakni perselingkuhan yang berawal dari media sosial.
Humas pengadilan agama Tigaraksa Jaenudin, mengatakan, fakta ini tak bisa dipungkiri. Rata-rata berawal dari keisengan.
Dari sekadar ngobrol di media sosial, tukar nomor telepon, kemudian berlanjut ke pertemuan. Tak bisa dihindari terjadilah perselingkuhan dan akhirnya diketahui pasangannya. ”Faktanya ya begitu,” tutur Jaenudin, Rabu (14/2).
Tapi, medsos juga tidak bisa dijadikan kambing hitam atas meningkatnya angka pengajuan permohonan cerai tersebut, karena sebagai media sosial, semestinya digunakan dengan bijak. ”Dengan kondisi ini, tentu semua kembali kepada pribadi masing-masing,” imbuhnya.
Ia mencontohkan, kasus perceraian yang ditangani Pengadilan Agama Tigaraksa selama periode tahun 2017 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2017, institusi tersebut menerima 6.255 permohonan dan gugatan cerai dari pasangan suami istri (belum termasuk data yang masuk per Januari 2018). Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2016 yang hanya berkisar 5.600 permohonan dan gugatan cerai.
Ketua Pengadilan Kota Tangerang Muhayah menambahkan, jika dirata-ratakan, angka perceraian di Kota Tangerang per bulannya sekitar 230 perkara. ”Untuk total selama 2017 ada sekitar 255 ribu lebih,” kata Muhayah.
Biasanya, sambung dia perkara perceraian mengalami penurunan saat bulan puasa dan jelang akhir tahun. ”Untuk saat ini, rata-ratanya per bulan ada 250 perkara,” tuturnya.
Muhaya juga menyampaikan, kebanyakan yang mengajukan gugatan cerai adalah perempuan. ”Rata-rata perempuan tersebut keluhannya karena faktor ekonomi. Ada juga yang karena faktor perselisihan, pihak ketiga, narkoba juga ada KDRT, dan salah paham,” terangnya.
Muhayah menambahkan, rentang umur rata-rata yang mengajukan gugatan perceraian sangat bervariasi. ”Kebanyakan yang cerai itu, sudah memiliki anak. Artinya rentang umur itu tidak menentukan. Itu variasi dari yang perkawinan usia muda itu sedikit. Tidak banyak. Umur pernikahannya dua tahun ke atas,” ujar lulusan Universitas Pattimura Ambon ini.
Ia menyampaikan, tingkat perceraian di Kota Tangerang masih dalam batas wajar. ”Kalau di Banten posisi Kota Tangerang mungkin di nomor urut dua. Itu seimbanglah karena penduduk di sini kan cukup banyak,” tandasnya.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati menyatakan angka trend perceraian di wilayah Tangerang Raya meningkat mencapai 19,9 persen/tahun. Angka pisah rumah tangga ini didominasi oleh perempuan berusia 20 sampai 25 tahun. Akibatnya, tiap tahun ribuan perempuan muda ini menyandang status baru sebagai single parents alias orang tua tunggal.
”Dibandingkan pada kota-kota lain, kasus perceraian Tangerang Raya sangat tinggi. Jadi sangat wajar kalau kota ini dianggap surga bagi janda muda,” terangnya.
Dari hasil pemantauan KPAI, sambung Rita, ada beberapa penyebab utama meroketnya angka perceraian. Di antaranya, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan, prostitusi, tindak kriminalitas, dan lain-lain.
Ditambahkan, aksi tersebut didominasi oleh kepala keluarga yang mencari ketenangan dan kepuasan di luar pasangan. ”Selingkuhnya dengan wanita berstatus janda yang paling banyak. Sangat berbahaya dan membuat pengajuan cerai di Pengadilan Agama meningkat. Mereka berkenalan melalui medsos atau di pusat perbelanjaan. Jadi ini memicu kasus ini terus bertambah,” ungkapnya.
Meningkatnya kasus perceraian di tiga daerah itu, lanjut Rita, tidak diikuti oleh adanya upaya pemda untuk memediasikan pasangan muda tersebut. Padahal jika itu dilakukan, maka model kasus seperti ini dapat diturunkan dan dampak sosial terhadap anak dari pasangan yang hendak bercerai dapat terhindari. (mg-17/tim/jpg/ful/sub/RBG)