Potensi madu hutan yang tersebar di sejumlah daerah di Banten mendorong sekelompok masyarakat untuk berbisnis madu dari hasil buruannya langsung di hutan. Kemudian mereka membuat komunitas bisnis mulai dari pencari, pengumpul, dan pemasar.
Madu hutan dari Baduy mememang sudah terkenal. Potensi serupa terdapat di kawasan hutan Ujung Kulon. Para petani di kawasan selatan Pandeglang juga sudah lama berburu madu hutan.
“Madu yang saya jual langsung ngambil dari hutan,” ungkap Usep Saepudin saat bebincang-bincang soal bisnis madu hutan, kemarin.
Pria asal Kecamatan Sumur, Pandeglang, ini menuturkan, berbisnis madu hutan dari hasil berburu sendiri bersama petani atau dari para petani kepercayaaanya. Dengan cari itu, ia bisa menjamin keaslian madu yang dijualnya. “Ini yang yang jadi pembeda dari jualan madu pada umumnya. Jualan madu hasil buruan di hutan. Pembeli pun percaya keasliannya. Bahkan sebelum saya jual, saya rasakan dulu keasliannya,” ungkap Usep.
“Saat ini petani tidak bisa lagi mencari madu di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon karena tidak ada izin setelah ada kebakaran hutan,” lanjutnya.
Karena itu, saat pendemi Covid-19 permintaan madu hutan sedang tinggi, namun pasokan dari petani sedang menipis. “Madu dari petani saya kemas ke botol 460 mililiter atau botol yang lebih kecil. Harganya per botol besar paling mahal bisa mencapai Rp170 ribu,” ungkapnya.
Khas dari madu hutan Ujung Kulon, lanjut Usep, manis tapi ada sedikit pahit. Rasa pahit ini karena sumber makanan lebah atau odeng yaitu kembang salam.
“Saya jual lewat media sosial atau japri pakai WA (Whatsapp) ke teman-teman atau relasi,” ungkap Usep.
Bisnis serupa juga dilakukan Nurhayat. Pria asal Cimongkor, Kecamatan Cipeucang Pandeglang ini memiliki jaringan bisnis madu hutan mulai dari pemetik, pengumpul, dan pemasar.
“Saya dapat madu hutan dari pengumpul di kawasan hutan Cimanggu, Sumur, dan Cigeulis. Pengumpul juga dapat dari pemetik setiap 20 hari atau sampai 25 hari sekali,” ungkap Nurhayat.
Madu tersebut kemudian dikemas ke botol. Rata-rata botol besar botol 460 ml. “Pembeli saya paling jauh dari Bandung dan Jakarta. Harga tergantung harga dari petani dan pengumpul. Saya jual lagi di kisaran Rp 165 ribuan,” ungkap Yayat yang mengandalkan media sosial untuk pemasaran.
Sebulan, lanjut dia, paling sedikit bisa menjual 30 botol secara langsung maupun online. Volume penjualan tergantung pasokan dari pemetik yang hasil buruannya tidak menentu.
Jualan madu hutan, lanjut dia, yang sudah terkenal memang dari Baduy. Tapi Banten memiliki sebaran hutan yang luas dan sama-sama memiliki potensi madu hutan. “Prospeknya sangat bagus. Peluang usaha buat masyarakat, Apalagi saat pandemi begini, banyak yang cari madu. Madu hutan salah satu pilihannya,” ungkap dia.
Berbagai macam madu, lanjut dia, banyak beredar di pasaran, termasuk toko modern. Namun berjualan madu yang diperoleh dari hasil buruan di hutan yang jelas asal usul madunya, punya kekuatan pasar tersendiri. “Saya bisa jelaskan asal madu diperoleh berikut videonya. Saya siap jika sampai ada yang mau uji laboratorium untuk memastikan keasilannya,” ungkapnya. (bie)