Sehari Produksi Ribuan Sapu Lidi
Mungkin bagi sebagian besar orang, sapu lidi merupakan hal sepele yang tidak diperhitungkan. Namun tidak bagi warga Desa Sindangheula, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang, yang hampir semua warga berprofesi sebagai pengrajin sapu lidi. Dalam sehari, mereka memproduksi ribuan sapu lidi.
Haidar – Pabuaran
Embun yang menempel di dedaunan belum juga kering. Suasana sejuk masih terasa diiringi kokok ayam jago. Namun para pemuda dan bapak-bapak terlihat sudah memanggul puluhan sapu lidi yang diikat menjadi satu.
Satu per satu di antara mereka berjalan kaki menuju jalan raya Palima-Cinangka, perjalanan dilanjutkan dengan angkutan umum menuju Patung, tempat pemberhentian bus. Dari sanalah perjalan panjang demi pundi-pundi rupiah dari sapu lidi dimulai menuju kota-kota besar di Jabodetabek.
Sementara di rumah-rumah penduduk, tampak semuanya terdapat tumpukan daun-daun kelapa yang sudah dipisah dari batangnya. Daun-daun itu diletakkan di samping atau belakang rumah. Biasanya, ibu-ibu dan para lansia, serta anak muda akan memulai membuat sapu lidi ketika siang hari hingga sore.
Salah satu pengrajin sapu lidi Sa’ad menceritakan pengalamannya selama menekuni usaha turun temurun keluarganya. Sejak dari kakeknya kemudian dilanjutkan oleh orangtua dan dirinya, Sa’ad sangat menikmati profesi membuat sapu lidi. “Daripada susah-susah cari kerja, mending kerjain apa yang sudah diajarin keluarga,” kata lelaki warga Kampung Serut ini.
Setiap hari, ayah satu anak ini rutin membuat sapu lidi di rumah dibantu adik, istri dan orangtuanya. Dalam sehari, ia bisa membuat 40 sampai 50 sapu lidi. Pekerjaan ini ia mulai sejak lima tahun lalu. Dengan keuletan dan ketekunan menggeluti usaha ini, Rohman sudah bisa membangun rumah sederhana dan membeli kendaraan roda dua.
“Jadi sebulan tuh penghasilan bisa sampai lima juta kalau penjualan lagi bagus,” ungkapnya.
Radar Banten dipertemukan dengan Kepala Desa Sindangheula Suheli di ruang kerjanya, Rabu (20/1). Kades muda ini antusias menceritakan kreativitas warganya membuat sapu lidi secara turun temurun sejak 1960 an.
Di Desa Sindangheula terdiri atas lima RW yakni RW 01 02 03 04 dan RW 05 dengan total keseluruhan ada 10.415 jiwa dari 2.200 Kepala Keluarga (KK). Namun, warga yang intens mencari penghasilan dari sapu lidi hanya di RW 01 02 dan 03, sedangkan RW 04 dan 05 sebagian besar warganya ialah pedagang ikan di Pasar Rau, Ciomas dan Pasar Padarincang.
Bahannya baku sapu lidi seperti bambu, tali, dan lidi didapat warga dari Kecamatan Gunungsari, Ciomas, serta Rangkasbitung, Lebak. Ada pula bahan pengampit lidi terbuat dari plastik untuk produk sapu lidi yang harganya sedikit lebih mahal, didapat dari Jakarta. “Dalam sehari, satu keluarga bisa membuat lima puluh sapu lidi,” kata Suheli.
Ada dua metode penjualan produk sapu lidi yang dilakukan warga, pertama, dijual dengan cara berkeliling kampung di sekitar Kota dan Kabupaten Serang. Kedua, dijual secara borongan dengan cara dititipkan ke warung-warung di wilayah Tangerang, Bekasi, Bogor, Jakarta, bahkan hingga diangkut menggunakan truk ke Karawang.
Harga sapu lidi bervariatif tergantung kualitas dan ukuran, ukuran paling kecil dibandrol Rp5 ribu hingga Rp10 ribu, ukuran sedang hingga kualitas bagus Rp15 ribu hingga Rp35 ribu. “Jenis lidinya juga kan beda-beda, ada yang kelapa biasa, kelapa sawit dan lidi aren,” jelasnya.
Suheli berencana mengembangkan produk UMKM sapu lidinya warganya melalui sistem penjualan online. Ayah satu anak ini bakal mengumpulkan semua produk sapu lidi, kemudian dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sindangheula. “Nanti hasilnya dibagi persentasenya, untuk warga dan kas desa,” ungkapnya.
Lelaki berkaca mata ini menilai, potensi produk UMKM sapu lidi bisa dikembangkan menjadi semakin maju. Soalnya, selain sudah berjalan secara mandiri oleh warga, produk sapu lidi ini juga sudah dikenal di kota-kota besar. “Semoga tahun ini bisa terealisasi,” harapnya. (*)