Tidak salah jika ada ungkapan, hidup itu jangan terlalu baik pada setiap orang, bisa-bisa dimanfaatkan dan malah jadi bumerang. Seperti yang dialami rumah tangga Joko (45) dan Puah (41), keduanya nama samaran. Memiliki harta melimpah, mereka banyak dimanfaatkan saudara. Parahnya, sampai diadu domba.
Itu berdasarkan cerita Joko yang mengaku sering dimanfaatkan saudara sendiri. Meski dalam hubungan sehari-hari terkesan baik, tapi perlakuan mereka yang sering menyindir kalau tidak diberi pertolongan membuat Joko pusing tujuh keliling. Ujung-ujungnya, sang istrilah yang mengamuk menyalahkan dirinya.
Waduh, kok bisa begitu sih, Kang?
“Kalau dikasih, mereka bakal minta lagi, padahal utang yang dulu juga belum dibayar. Tapi kalau ditolak, mereka ngomongin di belakang, kan pusing saya, Kang,” keluh Joko kepada Radar Banten.
Joko merupakan seorang pendatang, ia asli dari Lampung yang pindah ke Serang untuk memulai hidup menjadi lebih baik. Terlahir sebagai orang tak punya, membuat Joko berusaha sekuat tenaga mempertahankan hidupnya. Lantaran orangtua sudah tak ada, saudara pun tidak mempedulikannya. Sejak muda, ia merantau dan bekerja.
Memiliki wajah tampan, Joko sebenarnya pernah mempunyai cita-cita menjadi seorang artis. Namun lantaran tidak tercapai, berkat membaca buku-buku Ustaz Yusuf Mansur saat menjadi penjual buku, jadilah ia memutuskan menjadi pengusaha. Meski tak membawa modal besar, sejak muda ia tekun berjualan.
“Duh, waktu masa-masa sengsara saya jualan sendal keliling, jualan jam tangan anak, kaus, pokoknya mah jatuh bangun. Apa saja saya lakukan waktu masih muda,” ungkapnya.
Sampai akhirnya Joko merasa sudah dewasa, timbullah keinginan berumah tangga. Sambil terus berdoa, ia juga mulai genit-genit menggoda wanita. Seperti halnya usaha mencari rezeki, dari sekian banyak wanita yang menolaknya mentah-mentah, bersama Puahlah kemudian ia berhasil melabuhkan cinta.
Hadir di saat Puah sedang berduka lantaran ditinggal menikah kekasih hatinya, Joko menjadi pahlawan pelipur lara. Sikapnya yang sederhana dan jujur membuat Puah terpesona. Layaknya menemukan mutiara di tengah lautan, belum genap sebulan jadian, Puah minta dinikahkan.
Tak jauh berbeda dengan Joko, Puah sebenarnya anak sebatang kara. Kedua orangtua telah tiada dan ia dirawat saudara. Semenjak remaja sampai dewasa, kesehariannya banyak membantu saudara beres-beres rumah dan pekerjaan lainnya. Ya hitung-hitung balas jasa. Puah terbiasa hidup menderita.
Memiliki wajah manis dengan lesung pipi dan mata yang indah, sebenarnya banyak lelaki yang datang menghampiri. Namun karena Puah sudah memiliki kekasih, mereka putus asa dan pergi dengan sendirinya. Tetapi apesnya, di ujung harapan yang kian membesar, sang kekasih malah meninggalkan dan menikah dengan wanita pilihan orangtua. Terpuruklah Puah.
Lantaran hal itu, saat bertemu dengan Joko, ia langsung meminta keseriusan untuk dinikahkan. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Joko tidak menolaknya. Dengan modal tabungan pas-pasan, ia melamar sang wanita. Mengikat janji sehidup semati, keduanya resmi menjadi sepasang suami istri.
Subhanallah.
Seolah Tuhan sudah menentukan takdir Joko dan Puah untuk hidup bahagia. Lantaran keduanya yang memiliki kesederhanaan dalam menjalani hari, jadilah mereka membuka usaha kecil-kecilan. Menerapkan pola hidup hemat dalam mengatur keuangan, perlahan usahanya meningkat.
Warung kecil jajanan anak-anak direnovasi menjadi lebih besar. Lima tahun kemudia, Joko sudah punya banyak jaringan, usahanya semakin melebar. Mulai dari hanya menjual makanan dan minuman, sampai kemudian ia menjual bahan sembako dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Penghasilan pun semakin besar.
Wah, keren juga nih Kang Joko.
“Orang-orang sekarang tuh banyak ingin cari yang instan, enggak mau jatuh dulu. Maunya kaya, tapi malu mulai usaha. Lah, saya mah beruntung punya istri kayak dia, mau saya jualan apa pun selalu didukung, yang penting halal. Kalau mau hidup bahagia kuncinya satu, jujur,” kata Joko menasihati.
Memiliki usaha maju, Joko dan Puah mulai menikmati hasilnya. Mereka membangun rumah. Lima belas tahun berumah tangga, keduanya dikaruniai tiga anak yang mulai beranjak remaja. Menempati rumah baru yang nyaman dan bagus, Joko dan Puah berbahagia.
Seiring berjalannya waktu, satu demi satu saudara sang istri datang mendekati. Mengaku niat menjalin silaturahmi, sikap mereka yang dulu tak peduli kini sangat berusaha mengakrabi. Bahkan beberapa di antaranya sering membawakan makanan.
Hingga di suatu malam, ketika Joko dan Puah sedang melepas lelah setelah seharian menjaga warung, terdengar suara pintu diketuk dari luar. Masuklah saudara Puah yang dulu merawatnya. Tanpa basa-basi, ia mengaku sedang dalam kesusahan dan memohon pertolongan. Diberilah uang pinjaman.
Tak lama setelah itu, datang lagi saudara yang lainnya. Seolah semua sudah direncanakan, mereka silih berganti meminjam uang pada Joko dan Puah. Sampai suatu hari, lantaran kesal karena utang yang dulu belum dibayar tapi sudah meminjam lagi. Joko dengan nada ketus menolak kedatangan mereka.
Apa mau dikata, namanya juga orang kampung, tak terima atas perlakuan Joko, mereka menggunjingkan sampai menjelek-jelekkan rumah tangga Joko dan Puah. Mereka mengatakan sombong, kacang lupa pada kulitnya, dan segala macam bentuk penghinaan lainnya.
“Ya ampun Kang. Istri saya sampai menabngis seharian merasa dihina. Ya memang sih dulu pernah dibantu, tapi kan enggak usah menghina begitu,” curhatnya.
Apa mau dikata, tak terima atas gunjingan saudara dan tetangga, Joko mengamuk di depan rumah. Dikeluarkannya uang bertumpuk-tumpuk agar mereka tidak lagi menghina rumah tangganya. Joko mengamuk, tetapi seolah pura-pura lupa, tetangga dan saudara Puah hanya diam di dalam rumah. Astaga.
Sabar ya Kang Joko. Hidup itu memang berat, tapi harus terus dijalani. Semoga mereka sadar diri dan minta maaf kepada sang istri. (daru-zetizen/zee/ira/RBG)