Nyak Sandang sedang menjalani perawatan di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Minggu (25/3), ia dijenguk Direktur Utama PT Garuda Indonesia Pahala M Mansury. Dalam pertemuan tersebut, Nyak Sandang kembali mengungkapkan keinginannya untuk pergi haji.
Pahala bersama beberapa orang direksi PT Garuda Indonesia masuk ke ruang perawatan Nyak Sandang pukul 10.30 WIB. Rombongan masuk ditemani oleh Maturidi, relawan Aksi Cepat Tanggap (ATC) Aceh. Pahala tidak lama berada di ruang perawatan Nyak Sandang yang berada di Paviliun Kartika RSPAD Gatot Subroto.
“Kondisi Nyak Sandang masih lemah,” tutur Pahala seusai keluar dari ruang perawatan Nyak Sandang. Dia berharap agar Nyak Sandang kembali sehat.
Nyak Sandang merupakan salah satu pemegang surat obligasi pemerintah 1950 untuk pembelian pesawat RI pertama. Pesawat pertama itu merupakan cikal bakal Garuda Indonesia. Kini PT Garuda Indonesia sudah memiliki sekitar 200 pesawat terbang.
“Kami begitu terima kasih dengan beliau (Nyak Sandang-red) karena dulu menyumbangkan seluruh hartanya,” ujar Pahala. Kedatangannya memang untuk memberikan apresiasi langsung kepada pria 91 tahun itu.
Dalam pertemuan tersebut, menurut Pahala, Nyak Sandang kembali mengemukakan keinginannya untuk naik haji. Melihat hal tersebut, Pahala akan mempertimbangkan PT Garuda Indonesia turut berkontribusi memberangkatkan kakek asal Aceh itu. “Paling tidak ikut memberikan santunan tersebut (menunaikan haji-red),” beber Pahala.
Selain itu, yang memang sudah menjadi komitmen PT Garuda Indonesia sejak awal adalah memberikan tiket pulang ke Aceh selepas Nyak Sandang sehat. “Nanti akan kami berikan fasilitas untuk ke Aceh. Nanti bisa terbang bersama Garuda,” ungkapnya.
Ketika ditanya apakah pihak PT Garuda Indonesia akan merangkul para pemilik obligasi pemerintah 1950, Pahala mengaku belum tahu. Hal itu masih akan dibicarakan kepada menejemen PT Garuda Indonesia.
Sementara itu, Maturidi mewakili keluarga menuturkan ucapan terima kasihnya karena mendapatkan perhatian dari PT Garuda Indonesia. “Tadi sempat ngobrol sambil memegang replika pesawat dan Nyak Sandang terlihat senang,” ujar pria 50 tahun itu.
Karena usianya, Nyak Sandang diserang katarak yang membuat penglihatannya kabur. Jarak sepanjang satu lengan saja sudah tak terlihat. Saat wartawan ini berhadapan dengan pria asal Gampong Lhuet, Aceh, tersebut di Paviliun Kartika RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, pada Kamis (22/3), memang terlihat selaput putih di mata kanan.
Nyak Sandang adalah salah seorang penyumbang dalam pembelian pesawat pertama Indonesia setelah merdeka pada 1945. Dia menyumbangkan hasil penjualan sepetak tanah di kampung yang ditumbuhi 40 pohon kelapa dan emas seberat 10 gram. Total uang yang terkumpul dari tanah dan emas itu sebanyak Rp100. Semua dia serahkan kepada negara.
Patungan untuk membeli pesawat itu berawal saat Presiden Indonesia Pertama Soekarno pada 1948 berkunjung ke Aceh. Tujuannya, meminta dukungan saudagar setempat dalam membeli ‘si burung besi’.
Dua tahun berselang, Daud Beureueh yang waktu itu menjabat gubernur Aceh datang ke Masjid Lamno di Aceh Jaya. Usia Nyak Sandang masih 23 tahun kala itu.
“Pekerjaannya saat itu memetik cengkih dan pala di kebun. Ya, untuk membayar pajak ke Belanda,” tutur Khaidar, anak Nyak Sandang, yang turut mendampingi sang ayah ke Jakarta.
Sehari-hari Nyak Sandang dan istri, Fatimah, tinggal di rumah di sebelah kediaman Khaidar. Dari cerita yang kerap dia dengar sejak kecil, Khaidar menuturkan, kehadiran sang gubernur di Lamno waktu itu disambut meriah.
Bersama warga lain, Nyak Sandang berkumpul mendengarkan pidatonya. Intinya, memberi tahu kedatangan Soekarno ke Aceh yang meminta warga menyisihkan uang demi membeli pesawat.
Sepulang Daud, ulama setempat yang berpengaruh, Abu Disabang, mengimbau warga untuk mengumpulkan dana. Keluarga Nyak Sandang akhirnya sepakat menjual sepetak kebun dan emas tadi.
Presiden Soekarno, mengutip hariansejarah.id, pun menerima sumbangan dari masyarakat Aceh sebanyak SGD120 ribu dan 20 kg emas murni untuk membeli dua pesawat terbang. Dua unit pesawat pertama Indonesia itu diberi nama Seulawah R-001 dan Seulawah R-002.
Nama Seulawah disematkan untuk mengenang pemberian masyarakat Aceh. Sekarang pesawat tersebut berada di Taman Mini Indonesia Indah.
Dua pesawat tersebut, mengutip Wikipedia, merupakan cikal bakal maskapai Garuda Indonesia Airways (kini Garuda Indonesia). Keduanya termasuk jenis Dakota DC-3. Panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28.96 meter. Kecepatan terbangnya maksimum 346 km/jam.
Setelah pembelian pesawat tersebut, keluarga Nyak Sandang tidak pernah mengungkit lagi. Sebab, sejak awal mereka ikhlas. Sementara itu, surat obligasi terbitan 1950 sebagai bentuk apresiasi dari pemerintah disimpan hingga warnanya sudah menguning.
Kontribusi Nyak Sandang tersebut akhirnya terungkap kembali ke publik setelah Maturidi mengunggahnya di grup percakapan ATC. ATC pusat lalu menindaklanjuti. Dengan bantuan publikasi media lokal di Aceh, nama Nyak Sandang kian luas diperbincangkan. (jpg/alt/dwi/RBG/JPNN)