Pada tanggal 8 Februari 2020, Perwakilan RI di Tripoli-Libya telah melakukan pendampingan terhadap kasus yang menimpa 4 wanita Indonesia yang tergolong sebagai Pekerja Migran Indonesia/PMI dan memulangkan ke-4 PMI tersebut ke Indonesia. Dalam wawancara kita selama proses pendampingan dengan para PMI tersebut, terkuak berbagai dugaan praktik yang bisa digolongkan sebagai kasus pelanggaran hukum, baik hukum di Indonesia maupun hukum di negara setempat.
Sebelum mewawancara pun kami sadar, bahwa rupanya kebijakan moratorium Pemerintah Indonesia untuk melindungi para PMI sendiri masih banyak yang melanggarnya. Alhamdulillah, di dalam situasi kondisi negara setempat yang kurang kondusif akibat masih terjadinya konflik bersaudara, ke-4 PMI tersebut dapat kami pulangkan ke tanah air untuk berjumpa kembali dengan keluarganya. Kami pun menyadari ini mungkin merupakan rangkaian kereta yang masih panjang.
Seperti biasa sebagai kata kata terakhir kami yang selalu kami sampaikan kepada mereka agar peristiwa ini menjadi pelajaran untuk kita semua agar kita terhindar dari praktik-praktik ilegal dan nonprosedural dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang bisa membahayakan keselamatan kita. Untuk itu, dengan terselesaikan kasus mereka sementara ini kita pun berdoa bahwa dikarenakan mungkin saja masih banyak di luar sana para WNI yang tidak/belum mendaftarkan/melaporkan diri yang masih terjebak oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab segera terbebas dan menemukan kenyamanan.
Dari beberapa kali pengalaman ini, kami pun terbesit untuk sekadar menulis suatu pandangan mengapa ini masih terjadi untuk menjadi suatu perenungan kita sebagai bangsa yang besar dan majemuk serta sebagai bangsa yang sepakat hukum itu panglima dan menghargai nilai nilai kemanusiaan yang utama, untuk bersama sama menghindarkan terjadinya pelanggaran ini kembali ke depan.
Bagi bangsa Indonesia dan juga bangsa-bangsa di dunia lainnya, menjadi pekerja migran bukanlah suatu yang buruk melainkan kepada pihak-pihak yang memandang remeh dan yang memanfaatkan pekerja migran tanpa moralitas dan kejujuran itulah yang buruk. Mungkin itu salah satu gambaran kami kepada setiap pemeran/pelaku perdagangan orang yang dalam benaknya hanya komersialisasi manusia tanpa prosedur dengan tujuan yang tidak jelas dan tidak maslahat serta merugikan tidak hanya bagi para pekerja migran tersebut melainkan juga bagi bangsanya.
Dalam berbagai kesempatan sering kita dengar masih saja terjadi praktik-praktik ilegal pengiriman pekerja migran tanpa prosedur dan tujuan serta negara tujuan yang jelas. Dan nampaknya, permasalahan ini akan tetap terjadi apabila salah satu permasalahan yang paling akut antara lain adalah kurangnya penegakkan hukum dan pengendalian diri dari para keluarga serta komitmen dalam menjaga keselamatan antar warga masyarakat baik di pusat maupun di daerah kurang, khususnya terhadap praktik-praktik yang unprosedural.
Kita masih sering menjumpai para korban praktik penyalahgunaan pekerja migran Indonesia ini dari daerah-daerah yang kurang diperhatikan perkembangan ekonomi daerahnya ataupun kurang terbuka keguyuban sosial masyarakatnya. Yang lebih parah, budaya dan perilaku anggota masyarakat tersebut sudah rapuh dan mudah termakan ajakan maupun rayuan untuk bergaya hedonisme dari para oknum yang membuat para pekerja migran terjerambab dalam penderitaan. Penderitaan yang tidak mungkin dirasakan oleh para oknum-oknum tersebut.
Berbagai upaya tentunya sudah dilakukan sejak isu isu ini menjadi satu perhatian yang bersifat massif namun ternyata penanganan yang dilakukan nampaknya sepertinya hanya menyapu permasalahan di permukaan saja sementara praktik-praktik ilegal secara klandistine tetap dilakukan. Sepertinya kebijakan moratorium mendapatkan perlawanan yang begitu kuat dari suatu kondisi lingkungan fisiologi dan psikologi suatu komunitas atau pun perilaku diri yang saling terkait. Tentunya sejak awal bila ini terjadi, maka berbagai aspek dan elemen kehidupan dalam suatu pranata sosial harus terus menerus dikawal, dibina, dikembangkan dan dibawa ke dalam lingkungan yang bersifat memberdayakan dan mendorong kemandirian pribadi dan sosial ke arah yang positif bagi masyarakat di luar diri manusia itu sendiri. Mengingat pekerja migran itu pun bahagian dari masyarakat yang harus bersosialisasi.
Dalam konteks demikian, seluruh unsur dalam negara, baik pemerintah dan non pemerintah, harus bersinergi untuk membuat dan mendukung suatu lingkungan fisiologi dan psikologi masyarakat dan anggotanya yang saling memberikan perhatian terhadap suatu elemen yang bisa membantu ataupun mengganggu pertumbuhan masyarakat yang sehat. Elemen-elemen pranata sosial inilah yang dirasakan semakin tergerus dalam masyarakat urban Indonesia seiring semakin ramainya isu isu yang non substantif bagi kesehatan perilaku diri dan masyarakat antara lain kurangnya perhatian keluarga terdekat, terbatasnya akses pendidikan atau bahkan substansi dari pendidikan itu sendiri, adanya penyelewengan informasi, praktik-praktik korupsi di dalam kewenangan dan tanggungjawab yang diamanahkannya. Bila hal ini tidak dihiraukan, maka dipastikan permasalahan komersialisasi tanpa moral terhadap aset bangsa ini terus terjadi.
Para Pekerja Migran Indonesia, yang jumlahnya mungkin bisa berjumlah jutaan mengingat wilayah dan penduduk Indonesia pun berjumlah ratusan juta, dari sisi ini tentunya bisa menjadi dua sumber isu, apakah mereka itu menjadi aset yang positif ataupun aset yang negatif. Aspek positif dan negatif di sini pun harus menjadi landasan utama bagi penilaian berhasil atau tidak suatu kelengkapan pranata sosial pusat maupun daerah di Indonesia menjaga kondusifitas suatu fisiologi dan psikologi yang konstruktif bagi pengembangan aset bangsa yang namanya pekerja migran.
Terkait hal itu, peran para keluarga menjadi sangat dominan bila perhatian lingkungan di luar keluarga tidak berjalan yang sebetulnya secara sistem ketatanegaraan harusnya sudah bekerja mengingat saat ini perhatian terhadap perangkat wilayah terkecil pun sudah mulai diatur oleh lembaga politik dan pemerintahan kita dengan memberikan perhatian terhadap perangkat desa terkecil sekalipun. Untuk itu pula seharusnya program program kelompok dalam suatu wilayah terkecil harus didorong/difasilitasi untuk berkembang menjadi program unggulan dari masing masing daerah guna menyebarkan energi positif bagi terbangunnya suatu lingkungan fisiologi dan psikologi yang sehat buat warganya.
Dalam situasi di atas, diyakini energi masyarakat akan terserap untuk berlomba lomba memberdayakan dan mempromosikan potensi daerahnya baik ke dalam maupun keluar daerahnya. Dengan demikian, sarana konektivitas yang mulai digalakkan/dibangun/didorong oleh pihak pemerintah dan non pemerintah akan terisi dengan kegiatan kegiatan yang positif dan terselektif dari bawah ke atas ( bottom up) dan berbasis pembangunan untuk semua. Dengan demikian produk lokal akan semakin terpromosikan dan akan menyerap sumber daya setempat untuk kegiatan yang bersifat konstruktif. Efeknya akan memperkecil infiltrasi rayuan hedonisme.
Upaya ini sudah mulai terbukti, ketika pemerintah saat ini pun melihat berbagai keberhasilan pimpinan daerah di dalam meningkatkan potensi daerahnya dengan hal hal yang kreatif positif yang mengangkat kearifan lokal. Upaya masalisasi di dalam melindungi dan mengelola kearifan lokal inilah yang menjadi benteng kuat terhadap infiltrasi bagi warga setempat untuk tidak terjebak dan siap berkompetisi di dunia yang lebih mandiri dan menyelamatkan.
Nampaknya, itu potret sekilas kami dari Perwakilan RI di luar negeri untuk selalu siap di dalam memfasilitasi, mempromosikan, menginisiasi hal positif bagi negeri dan juga bagi negara penerima. Sebagaimana tugas yang diemban oleh kami adalah melaksanakan dan mendukung pengelolaan formula 4+1 program Diplomasi Indonesia. Dalam formula ini, salah satunya adalah Diplomasi Ekonomi dan Diplomasi Perlindungan kepada setiap WNI sebagai suatu tanda negara itu hadir di dalam melindungi Warganya dan mempromosikan kerja sama yang saling menguntungkan bagi kedua negara.
Ini artinya program Diplomasi merupakan refleksi dari suatu lingkungan fisiologi dan psikologi masyarakat Indonesia yang harus kita laksanakan apapun isu yang bakal dihadapi di dan dari luar negeri. Program Diplomasi di Perwakilan pun diharapkan akan dapat mendukung terwujudnya suatu Lingkungan fisiologi dan psikologi pranata sosial yang ada di tanah air baik Pusat maupun di daerah serta juga di negara penerima.
Dalam kaitan ini, Perwakilan pun mensosialisasikan kebijakan Pemerintah dan mendorong terwujudnya hubungan orang per orang (people to people contacts) yang konstruktif bagi perkembangan fisiologi dan psikologi pengelolaan aset bangsa yang kita kenal sebagai Pekerja Migran Indonesia.
Sekali lagi menjadi Pekerja Migran itu bukanlah hal yang buruk dalam kacamata rangkaian Diplomasi Perwakilan RI namun menjadi salah satu elemen dalam pelaku perdagangan ilegal aset bangsa ini lah yang akan sangat mencoreng Diplomasi Perwakilan Indonesia dan aset bangsa itu sendiri.
Dalam menutup pandangan ini, Perwakilan RI di Tripoli Libya pun senantiasa menyegarkan diri terhadap komitmen Perwakilan RI ini di luar negeri untuk senantiasa memperkuat pengertian dan makna dari formulasi 4+1, yang tidak terbatas pada Diplomasi Ekonomi ataupun Diplomasi Perlindungan yang isu isunya tidak terbatas pada hal-hal yang memang permasalahannya bersumber dari permasalahan fisiologi dan psikologi di tanah air melainkan juga terhadap tantangan yang berasal dari fisiologi dan psikologi negara setempat dan di kawasan sebagaimana diketahui bahwa banyak isu bersifat intermistik atau lintas batas seperti konflik, narkotik, penyebaran penyakit masih menjadi perhatian Pemerintah kita, negara setempat dan dunia.
Dalam kaitan ini pula selain berupa menyebarkan nilai-nilai positif di tanah air sebagai model terbaik untuk disebarkan/dipromosikan di negeri akreditasi, Perwakilan kita juga senantiasa menghargai kearifan lokal yang pastinya dimiliki oleh masing-masing bangsa dan negara serta menjadi cerminan dan rujukan untuk kita di dalam mengembangkan kerja sama yang saling menguntungkan dan menyebarkan keselamatan.
Semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita semua warga Indonesia dan warga dunia lainnya.
Wassalam
Tripoli, Februari 2020