SERANG – Pemprov Banten diminta untuk melakukan antisipasi kemungkinan gejolak adanya pengalihan kewenangan SMK/SMA dari pemerintah kabupaten kota ke provinsi. Hal ini menyusul kemungkinan muncul dampak manajemen, kualitas pendidikan, dan infrastruktur saat kewenangan itu diberlakukan.
Sekretaris Komisi V DPRD Banten Fitron Nur Ikhsan mengatakan, sejauh ini pendataan dokumen sudah berjalan cukup baik. Namun, dampak sosial berikutnya belum diantisipasi. Misalnya, manajemen pengaturan tunjangan guru yang disamaratakan di semua daerah se-Banten. “Dulu saya sudah sampaikan ke Pak Sekda, Bappeda dan Dindik, kalau kita dalam penganggaran, kajian anggarannya enggak matang maka akan ada gejolak,” katanya di ruang kerjanya di gedung DPRD Banten, Senin (16/1).
Menurutnya, gejolak tersebut sudah mulai terlihat. Kata dia, guru di daerah perkotaan yang biasanya mendapat tunjangan tinggi sekarang disamaratakan. “Kan ada ketimpangan, orang Lebak dan Pandeglang senang dengan standar yang sekarang, tapi tidak guru di Kota Tangerang, Tangsel. Bahkan, bicara berita hari ini (kemarin-red) Pemerintah Tangsel tidak mau berspekulasi, tapi seandainya provinsi tidak mampu mereka akan kucurkan ke situ,” katanya.
Prediksi Fitron, kekhawatiran beberapa pemerintah daerah lantaran tidak mau kualitas pendidikannya yang selama ini baik menjadi menurun. Sekalipun kewenangan regulasi menjadi wilayah provinsi, para peserta didik dan sumber daya pengajar bagian dari masyarakat pemerintah daerah setempat. “Misalnya, walikota Tangerang tidak akan tega dong meskipun kewenangan pendidikannya ada di provinsi, tapi dia warga Kota Tangerang, Tangsel, dan Kab Tangerang,” katanya.
Apalagi, persoalan muncul karena urusan pembiayaan Pemprov Banten yang belum sebanding jika dikelola masing-masing kabupaten kota. Potensi tersebut, kata Fitron, memungkinkan terjadinya pungutan liar pada masing-masing sekolah yang perlu pengawasan. “Potensi memungut biaya tinggi karena anggarannya kurang. Apalagi, regulasi boleh ada partispasi masyarakat dan itulah yang menjadi celah memungut biaya,” katanya.
Terlebih, politikus Golkar ini menyebut bahwa pemerintah hanya menanggung guru dengan status pegawai negeri sipil (PNS). “Guru honornya tidak di-cover pemerintah dan pemerintah baru meng-cover yang negeri,” katanya.
Lantaran itu, Fitron mengaku akan memanggil pihak Dinas Pendidikan untuk melakukan evaluasi pasca penetapan APBD Banten tahun anggaran 2017. Termasuk membahas masalah ujian nasional berbasis kompoter (UNBK) 2017. “Pemanggilan ini membahas skenario penggunaan anggarannnya dan meredam kemungkinan gejolak. Kalau gejolaknya di pabrik, agak lebih ringan. Tapi kalau di dunia pendidikan, itu akan berpengaruh pada kualitas yang tidak maksimal,” terangnya.
Saat dikonfirmasi, Sekretaris Dindik Banten Ardius Prihantono mengaku, pihaknya siap memberikan penjelasan kepada Komisi V DPRD Banten terkait pengelolaan SMA/SMK se-Banten. Menurutnya, persoalan anggaran untuk honor guru non PNS meskipun tidak dianggarkan dalam APBD 2017, sudah bisa di-back up melalui dana bosda.
Menurut Ardius, belum disalurkannya honor bagi guru non PNS SMA/SMK karena terkendala payung hukum. Saat ini Dindik Banten sedang menyusun payung hukumnya dalam bentuk peraturan gubernur (pergub) sebagai dasar hukum penyaluran honor guru non PNS. “Sebenarnya, kami sudah menyampaikan informasi ini pada MKKS di delapan kabupaten kota. Honor untuk guru non PNS kan memang tidak dialokasikan dalam APBD seperti gaji guru PNS, tapi mekanismenya melalui bosda. Itu yang harus jelas payung hukumnya dulu,” ungkapnya.
Berdasarkan data Dindik Banten, jumlah SMA/SMK sebanyak 1.206 sekolah, 15.119 guru, 3.279 pegawai dan 358.818 siswa. Adapun jumlah guru honorer SMA/SMK yang terdata lebih dari 14 ribu orang. “Pemprov sudah membahasnya bersama kepala SMA/SMK se-Banten terkait nasib guru honorer. Ini sedang dalam pembahasan di Dindik Banten,” tambah Ardius. (Supriyono-Deni S/Radar Banten)