Wayang potehi memang terbuat dari kain. Hanya kepala dan leher yang dari benda keras. Juga, sepatu dan sedikit kaki bagian bawah. Selebihnya hanya kain: yang motifnya sesuai dengan perannya. Bahwa di panggung wayang kain itu bisa terlihat gagah karena ada tangan dalang di dalamnya.
Jari telunjuk dimasukkan ke bagian leher. Tiga jari selebihnya di bagian tangan kanan. Jempol dimasukkan bagian tangan kiri wayang. Toni setuju dengan pendapat bapaknya itu. Sang bapak sudah membuktikan: ia sendiri juga dalang potehi. Bahkan, bapaknya bapak juga dalang potehi. Namun, Toni tetap jadi dalang potehi –generasi ketiga. Di seluruh Jatim tinggal ada empat saja dalang potehi.
Bahkan, Toni bukan sekadar dalang. Ia bikin museum potehi –satu-satunya di Indonesia. Museum itu ia bangun di sebelah kelenteng Gudo. Ia beli tanah di situ. Ia amankan museum itu dengan dua lapis pintu besi. Ia pun membeli lemari besi –yang di zaman dulu dipakai menyimpan uang, emas, dan sertifikat tanah itu– untuk menyimpan wayang kunonya. Juga untuk buku kuno tentang potehi.
Buku tebal tersebut unik: ditulis dalam huruf Jawa. Lengkap dengan gambar tokoh-tokoh utama wayang potehi. ”Silakan pakai ruang saya ini,” ujar Toni.
”Saya akan banyak bicara tentang Islam di pengajian ini,” kata saya setengah minta kerelaannya. ”Tentu. Kan, pengajian…,” katanya sambil tersenyum.
Saya pun memberi tahu pengurus MPP: bahwa lokasi saya memberikan pengajian itu di sebuah Kelenteng Gudo. ”Kebetulan, cocok dengan tema pengajian,” ujar Dini Kusmana, ketua MPP yang jadi moderator. Dini itu cantik sekali –lima ”i”. Jilbabnyi rapat sempurna. Dia asli Ciamis. Ayahnyi seorang dokter ahli. Punya pesantren: di Saguling, Ciamis. Pesantren MD Fathahillah. Seorang ustaz dimintanya mengurus pesantren itu.