SERANG – Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dit Reskrimum) Polda Banten akan digugat praperadilan menyusul dihentikannya kasus dugaan mafia tanah oleh penyidik. Gugatan tersebut akan segera dilayangkan ke Pengadilan Negeri Serang karena penghentian perkara dinilai janggal.
“Saya akan layangkan praperadilan dan laporkan ke propam terhadap penghentian perkara itu. Bagi saya ini (penghentian perkara-red) telah menzolimi saya, ” ungkap Yulhendri, pelapor kasus mafia tanah kepada Radar Banten, Selasa (27/7).
Yulhendri mengatakan kasus dugaan penyerobotan lahan miliknya yang berlokasi di Desa Serdang, Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang terjadi pada 7 Januari 2016. Ketika itu tanah miliknya seluas 620 meter persegi yang berada di persil Nomor 50.22/5 Blok Pinaggul C 594 Desa Serdang dijual oleh EE.
Menurut purnawirawan Polri dengan pangkat terakhir AKBP itu transaksi antara EE dengan pembeli SU hanya dibuatkan kwitansi. “Belum ada akta jual beli (AJB) hanya kwitansi, “ujar warga Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Cipocokjaya, Kota Serang ini.
Setelah merasa memiliki tanah, SU membuatnya menjadi kavlingan dan dijual kembali kepada warga bernama Supriono, Muh. Muis dan Ana Rosdiana. ” Penjualan itu melibatkan EE dengan tiga orang tadi karena transaksi mereka ini awalnya hanya berupa kwitansi sementara dan dokumen SPPT atas nama Rawani orang tua EE, “kata Yulhendri.
Dikatakan Yulhendri, EE nekad menjual tanah miliknya itu karena merasa memilikinya. Padahal, tanah itu sudah dihibahkan ibunya bernama Enah kepada adiknya, Sunartiyah. “Sesuai sertifikat awalnya tanah itu saya beli Rp200 juta pada 2018 lalu. Sesudah saya beli malah dijual oleh EE tadi padahal saya sudah punya sertifikatnya,”kata Yulhendri.
Sebelum membeli tanah tersebut Yulhendri sempat mengkrosceknya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Serang. Disana diketahui pemilik tanah bernama Sunartiyah. Karena merasa tidak akan menjadi masalah, lalu Yulhendri membelinya. “Mereka yang membeli tanah itu tidak akan dapat sertifikat karena sudah atas nama saya di BPN, ” kata Yulhendri.
Dikatakan Yulhendri dugaan penyerobotan lahan dan pemalsuan dokumen itu telah dilaporkan ke Polda Banten pada 2018 lalu. Saat proses penyelidikan, penanganan perkara berjalan mulus hingga dinaikan ke tahap penyidikan.”Dari surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) yang saya terima tidak ada kendala. Sudah ada bukti permulaan yang cukup terkait pidananya, “kata Yulhendri.
Setelah perkara tersebut naik tahap penyidikan, EE dan SU ditetapkan tersangka. Surat pemberitahuan tersangka itu ditandatangani oleh Direktur Reskrimum Polda Banten ketika itu Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Novri Turangga pada 21 November 2019. “Surat pemberitahuan tersangka itu ditembuskan ke Kejati Banten,” kata Yulhendri.
Setelah satu tahun lebih tidak kunjung jelas penyelesaian kasusnya, pada 28 September 2020 Yulhendri menerima SP2HP. Isi surat tersebut menyatakan perkara laporannya dihentikan karena tidak cukup alat bukti. “Alasannya itu unsur pidana dalam Pasal 385 ayat (1) KUH Pidana BPHN tidak cukup bukti. Ini KUH Pidana BPHN ini apa maksudnya, saya ini mantan penyidik pernah juga jadi Kasubdit di Ditreskrimum Polda Banten masa alasannya itu? . Saya enggak ngerti soal BPHN itu apa dalam KUHP. Kalau kurang bukti apa yang kurang? Saya punya sertifikat, SPPT, ” kata Yulhendri.
Ditegaskan Yulhendri, sengketa kepemilikan lahan itu sudah selesai di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) pada 21 Juli 2020. Dalam salinan putusan yang ia terima lahan tersebut bukan atas kepemilikan Enah orang tua EE lagi. “Anak-anaknya lakukan gugatan terhadap hibah itu tapi ditolak oleh MA, status tanah itu bukan waris karena sudah dihibahkan, ” kata Yulhendri.
Sementara Direktur Reskrimum Polda Banten Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Ade Rahmat Idnal mengaku tidak mengetahui kasus tersebut. Sebab, Ade belum lama menjabat sebagai direktur Reskrimum Polda Banten. “Silahkan ke penyidik saja, kalau mau dikroscek satu-satu itu banyak juga berkas perkaranya (yang ditangani-red), ” ungkap Ade.
Ade mengaku tidak mempersoalkan bagi pelapor untuk menempuh langkah praperadilan terhadap penghentian kasus tersebut. “Silahkan saja nanti diuji disana (sidang praperadilan-red) sudah sesuai atau belum (penghentian perkara-red),” tutur Ade.
Dikonfirmasi terpisah, Kasubdit II Harda Bangtah Ditreskrimum Polda Banten Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Dedy Darmawansyah selaku pihak yang menangani kasus tersebut belum dapat memberikan penjelasan. Saat dihubungi melalui sambungan telepon Selasa siang kemarin, Dedy mengaku sedang rapat. Radar Banten, kemudian mencoba mengonfirmasi melalui pesan Whatsapp, akan tetapi Dedy tak memberikan jawaban. (Fahmi Sa’1)