SERANG – Fenomena rebutan nomor urut masih tetap terjadi di kalangan calon anggota legislatif (caleg) baik di tingkat DPR RI, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten kota setiap gelaran pemilihan legislatif (pileg).
Meski begitu, para caleg yang nomor urutnya di bawah (bukan nomor satu atau dua) tidak perlu berkecil hati. Pada Pemilu 2019 konversi suara menjadi kursi partai politik (parpol) di satu daerah pemilihan (dapil) menggunakan metode Sainte-Lague murni, berbeda dengan pemilu sebelumnya yang menggunakan metode Kuota Hare (bilangan pembagi pemilih/BPP) sehingga menguntungkan caleg nomor urut satu dari setiap parpol peserta pemilu.
Dalam metode Sainte-Lague murni, raihan suara caleg dan raihan suara parpol yang paling menentukan. Bila suara parpolnya tinggi, yang mendapatkan kursi pertama adalah caleg yang meraih suara terbanyak di dapil tersebut. Begitu pun selanjutnya, berapa pun nomor urutnya.
Hal itu diungkapkan Ketua KPU Banten Wahyul Furqon. Menurutnya, mekanisme konversi suara di Pemilu 2019 sesuai dengan metode Sainte-Lague murni dihitung berdasarkan lima prinsip. Pertama, menjumlah seluruh suara sah masing-masing parpol secara nasional. Kedua, menentukan angka persentase parliamentary threshold (PT). Ketiga, menentukan parpol yang lolos PT. Keempat, membagi suara sah masing-masing parpol dengan angka ganjil 1,3,5, dan seterusnya. Kelima, membagi kursi di setiap dapil kepada parpol sesuai urutan rata-rata terbanyak dari hasil pembagian tersebut sampai kursi habis terbagi.
“Jadi, kuncinya suara terbanyak, parpolnya harus terbanyak dan caleg yang terbanyaklah yang mendapat kursi lebih dulu,” ujar Wahyul kepada Radar Banten, Minggu (29/7).
Penjelasan lebih perinci terkait konversi suara metode Sainte-Lague murni disampaikan Ketua Divisi Sosialisasi SDM dan Partisipasi Masyarakat KPU Banten Eka Satialaksmana. Menurut Eka, metode konversi suara di Pemilu 2019 memengaruhi jumlah kursi setiap parpol yang lolos ke DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten kota. “Nomor urut caleg tidak terlalu berpengaruh karena sistem ini (Sainte Lague Murni-red) mengharuskan suara parpol tinggi dulu, baru menghitung suara masing-masing caleg di setiap dapil,” kata Eka.
Ia menambahkan, metode Sainte Lague Murni tidak berpengaruh pada nomor caleg, tetapi berpengaruh ke parpol. “Parpol lama dianggap lebih diuntungkan karena sudah populer dibandingkan parpol baru. Tapi, ini hasil analisa pengamat bukan KPU,” ungkapnya.
Setelah langkah ini (jumlah suara parpol dihitung), akan ketahuan parpol pemenang kursi. Baru ditentukan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. “Caleg terpilih peraih suara terbanyak, mau nomor berapa pun si caleg,” tuturnya.
Berdasarkan data KPU, di antara model konversi suara menjadi kursi parpol, metode Sainte-Lague masuk dalam rumpun metode divisor, yaitu menggunakan bilangan pembagi tetap. Bilangan pembagi tetap pada metode Sainte Lague adalah bilangan ganjil, yaitu 1, 3, 5, 7, dan seterusnya, yang jumlahnya disesuaikan dengan kursi yang diperebutkan di dapil tersebut.
Sebelumnya, pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Teguh Yuwono menilai, metode konversi suara Sainte Lague Murni lebih adil bagi parpol. “Sistem ini dipandang lebih adil bagi partai termasuk partai menengah dan kecil,” kata Teguh.
Dalam mengonversi suara menjadi kursi, metode Sainte Lague Murni modifikasi membagi jumlah suara tiap partai di suatu dapil dengan empat angka konstanta sesuai rumus. Konstanta awalnya dimulai dengan angka 1.
Kemudian akan dibagi sesuai dilanjutkan dengan angka ganjil berikutnya. Setelah itu, hasilnya diperingkat sesuai dengan jumlah kursi dalam suatu dapil. “Jika jumlah kursi di dapil tersebut sepuluh maka akan dibuat sepuluh urutan. “Metode ini baru diterapkan di Indonesia. Pada pemilu-pemilu sebelumnya, metode yang digunakan adalah metode bilangan pembagi pemilih (BPP),” ungkapnya.
Metode BPP adalah menentukan jumlah kursi dengan mencari suara per kursi terlebih dahulu. Caranya, membagi total suara sah dengan total kursi yang ada di suatu daerah pemilihan (dapil). Partai yang mampu mencapai kuota suara dalam BPP dapat kursi. Misalnya, BPP 10.000 suara maka partai yang mencapai suara 10.000 dapat satu kursi. Begitu seterusnya pada hitungan kedua dan ketiga hingga kursi terbagi habis. Metode ini cenderung menguntungkan partai menengah dan kecil. Peluang mereka mendapatkan kursi sisa lebih terbuka. Sebaliknya, partai besar cenderung dirugikan. “Metode Sainte Lague Murni oleh sebagian pihak dinilai lebih adil. Partai dengan perolehan suara besar akan mendapatkan lebih banyak kursi, sedangkan partai dengan perolehan suara kecil tentu akan mendapatkan kursi yang lebih sedikit pula,” tambahnya. (Deni S/RBG)