Kasus Pengadaan Lahan Samsat Malingping
SERANG-Perbuatan mantan Kepala UPT Samsat Malingping Samad membeli lahan dari warga dan dijual kembali kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten disamakan dengan aksi mafia tanah. Hal itu diungkapkan pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Banten Zuryasdi di Pengadilan Tipikor Serang, kemarin (21/9).
Keterangan itu disampaikan Zuryasdi saat memberikan keterangan ahli pertanahan pada perkara dugaan korupsi pengadaan lahan untuk gedung Samsat baru, di Desa Malingping Selatan, Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak pada 2019 senilai Rp3,2 miliar.
“Seharusnya yang membeli yang punya uang atas nama sendiri (bukan atas nama orang lain-red). Akan terjadi mafia tanah dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (jika membeli dan dibuat atas nama orang lain-red),” ungkap Zuryasdi dihadapan majelis hakim yang diketuai Hosianna Mariani Sidabalok.
Dijelaskan Zuryasdi, proses transaksi jual beli lahan tidak boleh dilakukan saat pemerintah telah menetapkan rencana pengadaan tanah. Apalagi, kalau dokumen dokumen perencanaan pengadaan tanah (DPPT) telah dibuat.
“Silakan saja asal sebelum ada DPPT itu (transaksi jual beli-red), kalau sudah ada perencanaan dan DPPT itu sudah tidak boleh,” ungkap Zuryasdi dalam sidang yang dihadiri oleh JPU Kejati Banten M Yusuf, Herlambang dan Subardi.
Dalam pengadaan lahan samsat Malingping itu, Samad didakwa membeli lahan milik Cicih Suarsih seluas 1.707 meter persegi. Lahan itu dijual Cicih seharga Rp100 ribu per meternya kepada Samad. Namun, Samad menggunakan nama Uyi Sapuri dalam akta jual beli (AJB) lahan tersebut. “Tidak boleh (atas nama orang lain-red), harus jelas (siapa pembeli dan penjual-red), harus disebutkan (pembeli dan penjual-red),” kata Zuryasdi.