Peribahasa ‘Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian’ menggambarkan kisah rumah tangga Nani (38), bukan nama sebenarnya. Jungkir balik Nani bersama suami, sebut saja Nano (40), menjalani biduk rumah tangganya. Berkat kesabaran dan kesetiaan, Nani dan suaminya mampu mengarungi semua rintangan kehidupan hingga berbuah kesuksesan dan kebahagiaan.
Dari usaha warung kecil-kecilan, Nani dan suaminya kini sukses menjadi pengusaha furnitur di Pasar Royal. Semua itu tak lain berkat kerja keras dan ikhtiar Nano yang memang gila kerja. Sempat dihina dan tertipu orang selama merintis usaha, Nano tak menyerah. Tentu kesuksesan itu tak akan tercapai tanpa doa istri.
Pernikahan Nani dan Nano terjadi sepuluh tahun silam. Keduanya memiliki karakter yang berbeda. Nani orangnya manja dan terbiasa hidup mewah, lain dengan Nano yang tipikal pekerja keras dan gila kerja.
“Suami saya orangnya enggak mau diam, apa saja dikerjakan,” ujarnya. Asal jangan ngerjain orang ya, Mbak.
Nani terlahir dari keluarga cukup mapan, meski ayahnya hanya berprofesi sebagai aparatur sipil negara (ASN). Sementara Nano hanya anak pedagang nasi goreng keliling. Nani pun awalnya tidak menyangka bisa berjodoh dengan Nano dan mau menerima kekurangan suaminya.
Awalnya memang Nani sering mengeluh sulitnya hidup bersama Nano setelah menikah. Kondisi diperparah dengan sikap Nano yang gila kerja dan jarang menumpahkan perhatiannya terhadap Nani. Belum lagi, selama berumah tangga, Nani terus diterpa badai cobaan dan hinaan karena dicap sebagai orang miskin. Situasi itu memaksa Nani tak bisa menghentikan tetesan air mata hingga mengering dan kerap mengeluhkan nasibnya itu kepada orangtuanya.
“Waktu itu bapak saya malah nasihati dan kasih semangat. Alhamdulillah kuat jalani semuanya bersama Mas Nano,” ujar Nani yang ditemui Radar Banten sedang asyik mengobrol dengan karyawannya di Pasar Royal, Kota Serang.
Sepintas memperhatikan sosok Nani, orangnya cukup cerdas dan sopan. Nani lalu bercerita pertemuannya dengan Nano ketika berkunjung ke rumah temannya di Tangerang. Waktu itu ia dikenalkan kepada Nano. Nani pun langsung menilai Nano sebagai cowok baik, sopan, tetapi pendiam. Nano juga orangnya dingin terhadap perempuan yang membuat Nani semakin penasaran.
“Biasanya cowok kalau kenalan sama saya langsung sok cari perhatian gitu, Mas Nano enggak,” akunya. Masa sih, apa cuma pura-pura!
Maklum bila Nani menjadi pusat perhatian setiap lelaki yang melihatnya. Wajahnya cantik, kulitnya putih mulus. Nani juga pandai menjaga penampilan. Lain dengan Nano yang wajahnya pas-pasan, penampilannya juga biasa saja tidak ada yang istimewa. Namun, kesederhanaan Nano membuat Nani kagum. Makanya, Nani mau mengenal Nano lebih jauh.
Sejak pertamuan itu, Nani jadi sering menanyakan sosok Nano kepada temannya. Sampai akhirnya, Nani dan Nano dijodoh-jodohkan. Setiap ada Nano, pasti temannya menyampaikan kalau ada salam rindu dari Nani, begitu pun sebaliknya.
“Dulu saya sering dicomblangin gitu ama Mas Nano, geer dong,” kenangnya.
Sebulan berjalan, Nani tak sanggup menahan perasaan terhadap Nano. Nani pun memberanikan diri menemui Nano dan menyatakan suka padanya. Tentu saja pernyataan suka Nani ditanggapi Nano dengan kebingungan dan hanya bisa terdiam. Suasana cair setelah keduanya diledek teman-temannya agar cepat jadian. Akhirnya, mereka sepakat untuk berpacaran.
Tiga bulan pacaran, Nani meminta untuk dilamar. Tapi, belum ditanggapi Nano dengan serius karena keterbatasan biaya. Soalnya, Nano saat itu masih merintis usaha jualan mebel, belum cukup modal untuk biaya nikah.
Meski sempat tertunda, Nano akhirnya nekat meminjam uang ke saudaranya untuk modal nikah demi menikahi sang pujaan hati. Mereka pun menikah dengan pesta cukup sederhana. Mengawali rumah tangga, Nano dan Nani sementara menumpang di rumah orangtua Nani. Nano yang tak merasa nyaman hidup bersama mertua mengajak Nani tinggal di rukonya. Awalnya orangtua Nani melarang, tapi Nani menurut terhadap suami. “Di ruko itu cuma ada satu ruang buat tidur dan kamar mandi yang juga jadi dapur,” keluhnya. Sabar ya.
Baru seminggu, Nani merasa tak kuat dan memilih pulang. Namun, Nano tetap sabar dan memilih bertahan di ruko. “Ya gimana mau betah. Setiap malam dia sibuk ngelapin barang dagangan. Saya mah dianggurin,” kesalnya. Oh, jadi gara-gara jarang dibelai.
Kondisi semakin tak terkendali ketika Nani ditagih utang oleh saudara Nano. Nani terkena imbasnya, dicaci dan dilecehkan karena banyak utang. Saat itu Nani hanya bisa menangis. “Sudah tahu ada yang nagih utang, dia malah sibuk di toko saja,” sesaknya.
Seiring berjalannya waktu, Nani semakin diacuhkan suami. Nano jarang pulang dan tidak memberi kabar. Tiga tahun kemudian, usaha Nano mulai berkembang. Ia pun memperkerjakan satu karyawan. Buka toko setiap pagi sampai malam, Nano mulai lupa waktu. Situasi itu sempat memicu keributan, hingga ancaman cerai pun terucap. Namun, sempat diurungkan Nani karena nasihat orangtua.
Tiga tahun kemudian, Nani melahirkan anak pertama. Sejak itu Nano mulai membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Berkat doa dan kerja keras, usaha penjualan furnitur meningkat. Nano mulai membeli tanah untuk memperluas tokonya, serta membeli dua mobil pribadi dan satu mobil pengantar barang. “Alhamdulillah sekarang sudah sejahtera. Anak-anak juga bisa hidup enak,” ucapnya. Syukur deh. Semoga langgeng ya, Mbak. Amin. (mg06/zai/ira)