PANDEGLANG – Angka perceraian di Kabupaten Pandeglang tahun ini cukup tinggi. Kantor Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Pandeglang mencatat, sejak Januari hingga Juli 2016, angka perceraian mencapai 466 kasus. Tertinggi terjadi pada Januari yang mencapai 86 kasus.
Humas PA Kabupaten Padeglang Mas’ud menerangkan, penyebab perceraian terjadi karena beberapa faktor seperti cemburu, kawin paksa, faktor ekonomi, suami tidak bertanggung jawab, kekejaman jasmani oleh suami, suami dihukum, gangguan pihak ketiga, tidak ada keharmonisan, poligami, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan suami meninggalkan rumah.
Menurutnya, dari 466 kasus penceraian yang telah terjadi, perceraian yang terjadi pada pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 63 kasus. Seperti pada Januari sebanyak delapan kasus, Februari sebanyak sembilan kasus, Maret sebanyak 12 kasus, April sebanyak enam orang, bulan Mei sembilan kasus, Juni sebanyak enam kasus, dan Juli sebanyak 13 kasus, dari 31 aduan kasus penceraian. “Alasannya macam-macam, ada yang merasa tidak cocok karena pengaruh media sosial (medsos), suaminya menikah lagi dan alasan lainnya,” ujar Mas’ud kepada Radar Banten, Senin (29/8).
Sebenarnya, lanjut Mas’ud, pelaporan peceraian yang diajukan PNS per bulannya lebih dari 30 kasus. Namun, yang diputus kurang dari itu karena mekanisme pengajuan perceraian yang tidak sesuai aturan. “Harusnya pegawai ingin bercerai itu terlebih dahulu minta surat izin kepada atasannya, tapi ini tidak dilakukan,” katanya.
Menurut Mas’ud, sebenarnya pihaknya selalu mengupayakan agar para pemohon perceraian mengurungkan niatannya. Soalnya, perceraian adalah salah satu hal yang diperbolehkan, tetapi dibenci oleh Allah swt. “Proses mediasi selalu dilakukan apabila kedua pihak datang. Di sana kita sarankan agar mereka memikirkan ulang permintaan cerai. Tapi, rata-rata proses mediasi itu selalu menemui jalan buntu,” katanya.
Di tempat lain, Kepala Sub Bidang (Kasubid) Perundang-undangan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Pandeglang Herry Cahyadi mengaku, kesulitan mendata PNS yang telah melakukan perceraian. “Kita enggak punya data angka perceraian, baik yang sekarang maupun tahun 2015. Soalnya, enggak ada pegawai yang melapor secara resmi ke kita. Memang ada yang laporan, tapi itu cuma lisan dan meminta saran saja,” ujarnya.
Kata dia, tidak adanya data pegawai yang bercerai itu lantaran terbentur dengan aturan yang dinilai terlalu berbelit-belit. Lantaran itu, proses laporan tidak langsung disampaikan ke BKD. “Sekarang ini kalau ingin bercerai harus laporan dulu kepada pihak-pihak terkait. Misalnya, kalau ada guru yang ingin bercerai harus lapor ke kepala sekolah, kemudian ke UPT (unit pelaksana teknis), kemudian ke kepala dinas, setelah itu baru ke kita (BKD-red). Nanti akan kita ajukan peraturan lain yang lebih mudah agar kita juga memiliki data yang valid,” ujarnya. (Adib F/Radar Banten)