Oleh : Wari Syadeli
Keluarga besar pesantren saat ini sedang berduka atas wafatnya seorang tokoh ulama di Banten KH Ahmad Matin bin Haji Djawahir. Beliau adalah Pimpinan Pondok Pesantren Darul Falah, Ciloang, Kota Serang, yang juga Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Presidium Forum Silaturrahim Pondok Pesantren (FSPP) Provinsi Banten dan Katib Syuriah PWNU Banten. Beliau wafat di hari Jumat (12/06/2020) yang membuat membuat kami semua kaget dan bersedih atas wafatnya Beliau. Duka mendalam tentu dialami keluarga, santri, dan juga kerabat.
Kami menyaksikan keluarga, rekan dan kerabat menangis haru. Tangisan haru para santri terdengar keras saat sang guru dimakamkan, gelombang tangis haru itu membuat saya pun ikut hanyut dalam tangis hingga tak tahan meneteskan air mata. Kedekatan emosi serta banyaknya kesan saat berinteraksi dengan Beliau yang membawa kami haru dan kami berusaha untuk turut serta dalam prosesi pemakaman Beliau hingga tuntas sebagai bentuk penghornatan kami pada Beliau.
Pemakaman Beliau sangatlah berkesan dan memberikan banyak pelajaran bagi kami, agar kita terus menata diri juga hati ini agar layak diterima Allah Swt disisi yang terbaik serta kelak mendapatkan jalan kematian yang terbaik (husnul khatimah). Duka ini tidak hanya duka bagi keluarga, santri dan kerabat namun meninggalnya Beliau juga kematian para ulama pada umumnya adalah duka bagi alam semesta.
Para Nabi tidaklah meninggalkan dinar ataupun dirham namun mewariskan ilmu. Ketika seorang ulama wafat seolah-olah alam semesta pun mati berduka atas kepergian para penjaga bumi. Karena wafatnya seorang ulama tidak hanya hilangnya jasad namun terbawanya cahaya ilmu agama yang menerangi hati manusia. Dengan ilmu segala bentuk perilaku jahiliyah serta kemaksiatan ajakan syaitan bisa dihindari dan dengan ilmu alam semesta pun terlindungi dari kerusakan karena ulah manusia yang kurang ilmu agama .
Salah satu cara Allah mencabut ilmu adalah wafatnya ulama sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari seorang hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama. Hingga bila ulama tak tersisa, maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Ketika ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan”. (HR. Bukhari Muslim).
Kedudukan mulia seorang ulama tentu dikarenakan ketinggian adab dan ilmu. Bahkan saking tinggi kedudukannya dianalogikan seperti Keutamaan Cahaya Bulan Purnama dibandingkan bintang di malam hari. Dapat kita bayangkan perbandingan yang tak sepadan antara cahaya bintang yang nampak setitik dengan cahaya bulan purnama yang besar maka sangatlah wajar bila ulama disebut sebagai pewaris nabi sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
“Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudah jalannya ke surga. Sungguh, para malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimohonkan ampunan oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan seorang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ad-Darimi).
Agar di masa yang akan datang ilmu tidak punah maka kita haruslah sungguh-sungguh mendidik anak kita menjadi seorang ulama. Eksistensi pesantren, majelis ilmu, pengajian haruslah dirawat dan dijaga agar keberadaan para pewaris nabi tidak hilang dimuka bumi. Termasuk ilmu para ulama haruslah dirawat melalui tulisan, rekaman digital baik dalam bentuk suara ataupun video agar bisa terus kita kenang dan dengarkan tausiyah-tausiyahnya mengingatkan kita di kala lupa dan khilaf karena begitu pentingnya cahaya ilmu yang dimiliki seorang ulama bahkan dalam riwayat lain dianalogikan seperti kebocoran yang tak bisa ditambal.
Rasulullah SAW bersabda, “Kematian ulama adalah musibah yang tak tergantikan, sebuah kebocoran yang tidak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagiku daripada meninggalnya satu orang ulama.” (HR Al-Baihaqi).
Setiap ulama memiliki kekhasan tersendiri. Memang kepergian seorang ulama akan muncul pengganti di generasi berikutnya namun tetap saja tidak pernah dapat menggantikan karakter dan tingkat ilmu serta kekhasan yang dimilikinya. Wallahua’lam bisshowab. (*)
Penulis adalah Kepala Departemen Litbang FSPP Banten dan anggota Satgas Covid-19 Provinsi MUI Banten