Masyarakat adat suku Baduy di Kaki Gunung Kendeng, tepatnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, terbagi dua: Baduy Dalam dan Baduy Luar. Kendati keduanya tidak terpisahkan, dalam berbagai hal banyak sekali perbedaan. Salah satunya, urusan asmara dan pernikahan.
Deni Saprowi – Lebak
Masyarakat adat suku Baduy jumlahnya setiap tahun terus meningkat. Saat ini Pemkab Lebak mencatat lebih dari 11 ribu jiwa masyarakat Baduy yang tinggal Desa Kanekes. Mereka tersebar di 64 kampung. Khusus untuk masyarakat Baduy Dalam, mereka hanya tinggal di tiga kampung atau yang dikenal Kampung Tangtu. Pemimpin adat tertinggi masyarakat Baduy disebut puun ada di tiga kampung Tangtu ini, yaitu Cibeo (Puun Jahadi), Cikartawana (Puun Tarnah) dan Cikeusik (Puun Yasih). Sementara, masyarakat Baduy Luar tersebar di 61 kampung. Setiap kampung dipimpin oleh kokolot atau kita menyebutnya ketua rukun tetangga (RT).
Masyarakat Baduy hanya mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional yang mengikuti aturan negara Indonesia dan sistem adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, masyarakat Baduy dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat. Saat ini jaro pamarentah masyarakat Baduy adalah Jaro Saija. Dia menggantikan Jaro Dainah. Sementara, secara adat tunduk pada pimpinan adat tertinggi, yaitu puun.
Masyarakat Baduy Dalam hingga saat ini masih memegang teguh adat istiadat. Mereka menolak teknologi modern seperti telepon genggam, televisi, radio, maupun peralatan rumah tangga modern lainnya. Begitu juga urusan pernikahan, anak remaja Baduy Dalam nyaris tidak mengenal pacaran. Pernikahan anak Baduy Dalam ditentukan oleh orang tuanya melalui perjodohan. Bahkan, bagi anak perempuan yang baru lahir, mereka telah ditentukan akan dinikahkan dengan calon suaminya setelah remaja/dewasa nanti oleh orangtuanya.
Perjodohan itu sudah menjadi aturan bagi masyarakat Baduy Dalam. Siapa pun anak Baduy Dalam yang menolak perjodohannya diberikan sanksi tegas, yaitu dikeluarkan dari lingkungan masyarakat Baduy Dalam atau diusir jadi warga Baduy Luar.
Sementara, masyarakat Baduy Luar lebih terbuka dengan perkembangan zaman, meski saat ini masih menolak listrik. Mereka mau menerima teknologi modern seperti telepon genggam. Bahkan, urusan pernikahan, anak remaja Baduy Luar diperbolehkan menentukan pasangannya sendiri, tidak melalui perjodohan. Hampir sama dengan remaja atau pemuda di Banten lainnya, anak remaja Baduy Luar pun mengenal istilah pacaran. Setelah pasangan muda mudi berpacaran, barulah kedua orangtua mereka mengurus persiapan pernikahan.
Menurut Jaro Emen, kokolot warga Kampung Babakan, anak Baduy Luar bisa memilih calon pasangannya, tapi harus dengan sesama warga Baduy Luar juga. Kalau pilihannya di luar warga Baduy Luar, dia harus pergi dari lingkungan adat masyarakat Baduy. Itu sama seperti warga Baduy Dalam yang diusir atau dihukum harus meninggalkan permukiman warga Baduy Dalam kalau menolak dijodohkan.
Emen yang menjadi kokolot di Kampung Babakan Cipondoh menggantikan almarhum ayahnya, Jaro Ki Samara, pun menceritakan gaya pacaran remaja Baduy Luar. Menurut Emen, sama seperti anak muda di luar Suku Baduy, para remaja yang sudah memiliki rasa ketertarikan terhadap lawan jenis akan berusaha mendapatkan hati orang yang disukainya dengan berbagai cara masing-masing.
Menurutnya, remaja laki-laki Baduy Luar lebih aktif mencari calon pacar. Setelah menemukan tambatan hatinya, berbagai cara dilakukan untuk mendekatinya. Mulai dari mengajak bertemu, memberikan perhatian, hingga rajin menjalin komunikasi, baik berkomunikasi langsung maupun tidak langsung karena mereka rata-rata sudah punya handphone.
Kendati begitu, Emen mengakui ada saja warga Baduy Luar yang tertarik pada calon pasangannya di luar masyarakat Suku Baduy. Untuk itu, tugas para orangtua membimbing dan memberikan arahan, kalau siap dengan risikonya. Silakan saja memilih calon istri/suami di luar suku Baduy.
“Kan ayeuna mah loba semah nu datang ka perkampungan Baduy, atawa warga Baduy nu kaluar urusan dagang atanapi balanja,” ungkapnya.
Setahu Emen, sudah ada dua warga Baduy Luar yang memilih menikah dengan masyarakat bukan Suku Baduy. Mereka akhirnya pergi sebab tidak akan diterima di sini. Alasannya, mereka khawatir kalau istri/suami bukan warga Baduy akan merusak adat.
Kendati diperbolehkan berpacaran, anak remaja Baduy Luar harus pintar-pintar mencari waktu untuk mendekati lawan jenis. Sebab, setiap hari kebanyakan warga Baduy pergi ke kebun.
Emen menambahkan, di kampungnya tinggal 63 kepala keluarga (KK). Pemuda pemudi yang masih lajang sekira 25 orang. Mayoritas dari anak remaja di kampungnya itu sudah memiliki pacar yang tinggal menunggu kedua orangtuanya mengurus pernikahannya tahun depan.
Sarta (19 tahun), warga Baduy yang masih lajang, mengaku sudah mengetahui adat istiadat yang telah diatur para puun di Baduy. Dirinya pun memilih untuk mengikuti aturan adat yang berlaku.
Sarta mengaku banyak perempuan Baduy yang cantik. Oleh karenanya, dia tidak akan memilih calon istri dari luar Baduy. Sebab, dia ingin tinggal sampai membangun rumah tangga, punya anak dan meninggal di Baduy.
Sarta mengaku, masih belum berpikir mencari calon istri. Dia masih fokus membantu kedua orangtuanya berkebun.
Pantauan Radar Banten, sejak pagi hingga sore suasana di beberapa perkampungan Baduy Luar memang sepi. Warga terutama remaja ikut orang tuanya pergi ke ladang untuk bertani. Kebanyakan yang ada di rumah hanya perempuan yang sedang mengurus bayi dan tidak bisa dibawa ke kebun. Di Kampung Babakan Jero, Babakan Cipondoh, Kadu Ketug, Gajebo, dan kampung Baduy Luar yang masih jauh dari perbatasan Baduy Dalam, kebanyakan yang jaga rumah adalah ibu-ibu. Selain mengurus anak, mereka membuat kerajinan tangan khas Baduy. Mulai dari kain tenun, tas koja, dan alat kerajinan khas Baduy lainnya.
“Pemuda dan anak gadis di sini pada sibuk di kebun, nanti sore baru pulang,” kata salah seorang ibu paro baya, perajin kain tenun khas Baduy Luar saat menjawab pertanyaan Radar Banten yang lancar berbahasa Indonesia di depan rumahnya.
Radar Banten nyaris kesulitan menemui anak gadis warga Baduy Luar yang sedang berada di rumahnya. Kebanyakan rumah dihuni kaum ibu dan anaknya yang masih kecil.
Menjelang sore hari, jalanan perkampungan Baduy Luar mulai ramai. Baik para pengunjung yang berwisata ke Baduy maupun warga Baduy yang pulang berkebun. Beberapa anak remaja perempuan Baduy Luar yang berpapasan di jalan hanya memberikan senyum pada pengunjung yang berusaha menyapanya. Kebanyakan dari mereka memilih untuk menghindari interaksi dengan pendatang dan memilih mempercepat jalannya untuk sampai ke rumahnya masing-masing.
Saat hujan mulai membasahi perkampungan Baduy Luar, Radar Banten bertemu dengan belasan pemuda dari Baduy Dalam yang sedang berteduh di rumah-rumah warga Baduy Luar. Dengan mengenakan ikat kepala dan baju berwarna putih khas warga Baduy Dalam, mereka tampak sudah terbiasa dengan para pengunjung yang sedang berwisata di perkampungan Baduy.
Salah satu pemuda Baduy Dalam bernama Sanif (23) mengaku, dirinya sudah dijodohkan sejak kecil. Pada 2012, dia menikah. Menurut Sanif, hampir semua warga Baduy Dalam tidak pernah ada yang menolak, jika pun tidak cocok dengan perjodohan itu, cuma dipendam dalam hati. (*)