SERANG – Suhu di depan tunggku pembakaran masih terasa panas di kulit wajah. Pembakaran gerabah berbagai ukuran baru saja selesai, tapi panasnya masih terasa.
Tujuh jam gerabah harus dibakar dalam suhu panas ribuan derajat celsius. Panas
api di tungku pembakaran harus merata supaya tanah gerabah matang sempurna hingga merah menyala.
api di tungku pembakaran harus merata supaya tanah gerabah matang sempurna hingga merah menyala.
Usai pembakaran dengan kesabaran yang juga harus sempurna, gerabah beragam ukuran yang sudah matang siap dikeluarkan dari tungku pembakaran. Tangan Maryono, perajin gerabah siap mengeluarkan gerabah dari tungku pembakaran yang masih menyisakan panas.
Titik-titik keringat mulai merembes menembus kaos tipisnya yang
lusuh. Meryono harus segera mengepak gaerabah berbentuk mangkuk ukuran kecil yang sudah dipesan oleh pengusaha emas di Cikotok.
lusuh. Meryono harus segera mengepak gaerabah berbentuk mangkuk ukuran kecil yang sudah dipesan oleh pengusaha emas di Cikotok.
Maryono, merupakan generasi ketiga pengusaha gerabah di Desa Bumi Jaya, Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang. Tiga saudaranya yang lain meninggalkan usaha ini karena harus bekerja di pabrik di kawasan Serang Timur.
“Saya melanjutkan usaha Ibu. Adik-adik saya tidak ada yang mau melanjutkan.
Mereka memilih bekerja di pabrik,” ujarnya kepada radarbanten.com, Sabtu (1/2/2014).
Mereka memilih bekerja di pabrik,” ujarnya kepada radarbanten.com, Sabtu (1/2/2014).
Di depan tungku pembakaran yang berusia 13 tahun, ia bersama keluarga menggantungkan hidup sebagai perajin gerabah. “Ibu (Maryamah-red) sudah tidak kuat. Jadi saya yang melanjutkan,” ungkapnya lirih.
Untuk mendapatkan tanah bahan gerabah yang baik, Maryono mengaku harus membeli kepada warga. Tanah yang dibawa menggunakan beronjong
(tempat menyimpan tanah) dihargai Rp40 ribu.
(tempat menyimpan tanah) dihargai Rp40 ribu.
“Kita harus beli tanahnya. Kita olah sendiri. Tanah di sini sudah terbukti kuat untuk gerabah,” katanya.
Ia harus segera mengepak sekitar 8.000 mangkuk gerabah yang dipesan oleh pengusaha emas di Cikotok. “Ada pesanan harus segera dikirim sebelum hujan turun,” katanya.
Maryono mengatakan bahwa kualitas tanah Bumi Jaya sudah terbukti bagus dibanding tanah dari daerah lain. “Selain menjual gerabah jadi, warga sini menjual tanah mentah sampai ke Bali dan Yogyakarta. Mereka menggunakan tanah dari sini,” jelasnya.
Ia menjelaskan, penjualan gerabah yang ia lakoni merupakan warisan turun temurun dari neneknya. “Kalau saya tidak melanjutkan usaha ini akan mati,” ujarnya
Maryamah, ibunda, Maryono, sudah tidak segesit dulu. Seiring bertambahnya usia, ibunya hanya mengawasi pekerjaan anaknya tersebut.
Dari Bumi Jaya Sampai ke Polandia
Usaha gerabah ini ternyata bukan sekadar menarik dari segi ekonomi. Kreatifitas perajin gerabah yang dilakoni Maryono dan Maryamah ternyata menyedot perhatian seorang sutradara
Teater Studio Indonesia, almarhum Nandang Aradea.
Teater Studio Indonesia, almarhum Nandang Aradea.
Nandang Aradea melihat gerabah sebagai simbol perlawanan petani terhadap keadaan manusia modern yang semakin berjarak dari tanah. Maka dengan pertunjukan “Perempuan Gerabah” pada 2011 pada festival teater di Gdsank, Polandia, Nandang Aradea membawa Ibu Maryamah dalam pertunjukannya di sana.
Ibu Maryamah dan semua pengrajin gerabah mendapat tempat yang layak diapresiasi
hingga mata penonton teater di seluruh dunia. Kerja kreatif mengolah tanah, seperti ini menjadikan manusia semakin dekat dengan asal muasal penciptaannya, yakni tanah. (Wahyudin)
hingga mata penonton teater di seluruh dunia. Kerja kreatif mengolah tanah, seperti ini menjadikan manusia semakin dekat dengan asal muasal penciptaannya, yakni tanah. (Wahyudin)