GEMPITA menyambut fenomena alam superlangka gerhana matahari total (GMT) Rabu (9/3/2016) begitu luar biasa. Bahkan, empat orang peneliti dari National Aeronautics and Space Administration (NASA) datang dari Amerika ke Halmahera untuk meneliti dicaploknya matahari oleh raksasa buto ijo.
Empat orang peneliti dari NASA kemarin sudah berada di Jakarta dan memaparkan rencana penelitiannya. Keempat orang itu adalah Madhulika Guhathakurta, Natchimuthukonar Gopalswamy, Nelson Leslie Reginald, dan Seiji Yashiro. Keempatnya akan berkolaborasi riset dengan tim dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Khusus di Lapan, tim yang akan melakukan penelitian berasal dari Pusat Sains Antariksa (Pussainsa). Kepala Pussainsa Lapan Clara Yono Yatini menuturkan, GMT tahun ini bukan fenomena yang tidak pernah terjadi di republik ini. GMT terakhir yang mampir di Indonesia terjadi pada 1983 dan melewati sepanjang Pulau Jawa.
“Tapi, saat ini tidak banyak yang menikmati karena ada miss-komunikasi,” jelasnya pada seminar GMT Lapan dan NASA di Jakarta, Jumat (4/3). Clara menuturkan, saat ini diinformasikan bahwa GMT begitu berbahaya sehingga masyarakat diimbau berada di dalam rumah. Bahkan, tidak itu saja, harus bersembunyi di bawah ranjang tempat tidur.
Pada GMT tahun ini, dia berharap masyarakat Indonesia bisa menikmati bersama-sama. Selain terkait ilmu pengetahuan, fenomena langka ini juga bisa digunakan sebagai momentum untuk merenungi kuasa Tuhan. Dia optimistis dengan gencarnya pemberitaan media massa jelang GMT 9 Maret nanti, masyarakat sudah tidak memercayai mitos-mitos gerhana matahari.
Terkait dengan GMT yang bisa merusak mata, menurut Clara, itu bukan mitos. Memang benar bahwa gerhana matahari itu bisa mencederai mata. Jadi, dianjurkan masyarakat untuk melihat GMT dengan bantuan kacamata khusus. Namun, ketika fase gerhana sudah benar-benar penuh alias puncak, aman untuk dilihat dengan mata telanjang.
Clara berharap, kerja sama Lapan dan NASA tidak putus pada momentum GMT 9 Maret nanti. Namun, akan dilanjutkan lagi dengan riset-riset antariksa lainnya. Tujuannya untuk perkembangan ilmu pengetahuan, baik di Amerika maupun di Indonesia.
Peneliti Pussainsa Lapan Emanuel Sungging Mumpuni mengatakan, kolaborasi Lapan dan NASA ini, bukan ekspedisi perdana peneliti Amerika di Indonesia. Dia menjelaskan, peneliti Amerika sudah melakukan ekspedisi pengamatan dan penelitian GMT sejak awal abad ke-20. Tepatnya pada 1901, 1926, dan 1929 di kawasan Sumatera Utara.
Dia menuturkan, ada beberapa unsur GMT tahun ini begitu menarik. Di antaranya adalah lintasan GMT melalui 12 provinsi di Indonesia. Baginya, sangat jarang GMT itu melalui daratan yang begitu luas. Bahkan, ada kalanya GMT itu hanya terjadi di lautan.
Sungging menjelaskan, selain di Maba, Halmahera Timur, tim peneliti Lapan juga diterjunkan ke Ternate. Di lokasi ini nantinya tim Lapan akan melakukan dua penelitian. Yaitu, penelitian tentang efek lensa grafitasi melalui pengamatan gerhana dan gangguan geomagnet terkait pengaruh gerhana.
Peneliti NASA Nelson Leslie Reginald mewakili rekannya menyampaikan rencana penelitian mereka di Indonesia. Dia menjelaskan, di antara permasalahan yang ingin mereka pecahkan dengan pengamatan GMT di Indonesia adalah temperatur dan elektron matahari.
Pada saat puncak GMT terjadi, bakal ada sinar yang terpencar-pencar di luar lingkaran hitam gerhana. Sinar yang terpencar-pencar inilah yang disebut dengan korona. Sinar yang terpencar-pencar di korona itu merupakan pantulan cahaya fotosfer yang dipantulkan oleh elektron bebas di korona matahari. “Kami akan meneliti yang lebih cerah itu K-corona atau F-corona,” jelasnya.
Nelson mengatakan, dia sudah terlibat dalam beberapa kali di tim pemburu GMT NASA. Di antaranya, pada 2001 lalu di Zambia. Kemudian, dia juga pernah mengamati gerhana di Saudi (2002), Libya (2004), dan Tiongkok (2008). “Saya sangat antusias menyambut GMT di Indonesia ini,” pungkasnya. (JPNN)