PANDEGLANG, RADARBANTEN.CO.ID – Temuan situs arca di Blok Gunung Payung, kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, Kabupaten Psndeglang, oleh Tim Observasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI dan petugas TNUK membuka sejarah baru peradaban bangsa.
Pernyataan itu disampaikan oleh Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia, Prof Agus Aris Munandar, setelah mendeteksi hasil temuan objek diduga cagar budaya oleh Tim Observasi Kemendikbudristek dan petugas TNUK.
Temuan di Gunung Payung berupa arca pion dan arca kepala.
Observasi dilakukan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VIII, Kemendikbudristek RI, bersama petugas TNUK pada 4 -13 Juni 2024.
Observasi diketuai oleh Pamong Budaya Ahli Muda, Kemendikbudristek RI, Swedhi Hananta.
Ahli arkeologi yang mendeteksi hasil temuan objek diduga cagar budaya di TNUK itu menunjukan pengaruh awal budaya India di tanah Jawa. Selain arca berbentuk kepala dan pion, ditemukan juga batu lulumpang.
Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia, Prof Agus Aris Munandar mengatakan, temuan arkeologi di Gunung Payung merupakan benda penting bagi peradaban bangsa.
“Temuan arca di TNUK merupakan peninggalan Hindu Siwa sekitar abad ke-7 Masehi,” katanya dalam rilis yang diterima RADARBANTEN.CO.ID, Senin, 29 Juli 2024.
Agus menerangkan, kalau dari pandangan arkeologi ini adalah penemuan yang sangat penting. Temuan ini menunjukkan bahwa ada pengaruh awal dari budaya India di tanah Jawa.
“Dan itu ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon,” katanya.
“Temuan arca di TNUK diperkirakan sebelum abad ke-8. Mungkin abad ke-7,” katanya.
Pada abad ke-8 berkembang di Jawa bagian tengah, yaitu agama Hindu Siwa. Namun, sebelum berkembang di tanah Jawa bagian tengah, pengaruh budaya India sudah ada di Ujung Kulon.
Kenapa dipilih Ujung Kulon?
Agus menjelaskan dari sudut pelayaran, jika datang dari Barat, maka akan singgah ke bagian Barat tanah Jawa.
“Yaitu Pulau Panaitan dan Ujung Kulon,” katanya.
Bila dilihat dari sudut pelayanan, apabila kapal datang dari Barat pastinya akan mampir dulu di bagian Barat tanah Jawa. Pada masa lampau itu jalur pelayanan bukan lewat Selat Malaka.
“Tapi masih lewat pantai Barat Sumatera. Sehingga akhirnya pelayar-pelayar kapal singgahnya di tanah Jawa bagian Barat, yaitu di Pulau Panaitan dan Ujung Kulon,” katanya.
Lebih lanjut, Agus berpendapat, kalau tempat tersebut ditinggalkan karena kurang ada pendukungnya. Yaitu, jumlah penduduknya kurang karena demografinya tidak banyak.
“Sehingga terjadi pergeseran dari wilayah Ujung Kulon bergeser ke sebelah Timur lalu singgah di Pangandaran, di Batu Kalde,” katanya.
Selanjutnya, bergeser lagi ke Timur sampai di tanah Jawa bagian tengah. Ajaran agama Hindu lebih berkembang di sana.
“Jadi kebudayaan itu bisa berkembang jika ada pendukungnya. Jika penduduknya tidak ada maka tidak bisa berkembang,” katanya.
Lebih lanjut, Agus menerangkan, pada perkembangan selanjutnya sekira abad ke-8, ke-9 dan ke-10, di Selat Malaka sudah mulai dikenal dan dilalui oleh jalur pelayaran. Sehingga, terjadilah pelayaran melalui Selat Malaka di abad ke-8 sampai abad ke-10.
“Temuan di TNUK perlu diselamatkan dengan dipindahkan dari TNUK ke museum Pemerintah Daerah setempat,” katanya.
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VIII, Kemendikbudristek RI, Lita Rahmiati menuturkan, setelah terdeteksi maka agenda selanjutnya menyelamatkan dengan memindahkan arca itu dari Ujung Kulon dan disimpan di museum kabupaten atau museum provinsi.
“Dan perlu dilakukan kajian lanjutan guna lebih menguak tentang tinggalan tersebut. Dengan uji lab dan lainnya,” katanya.
Lita mengungkapkan, tentunya yang perlu dilakukan tidak hanya penyelamatan objek temuan saja, tetapi juga melakukan penelitian lanjutan agar lebih menguak tentang tinggalan tersebut.
“Untuk mengungkap peninggalan awal pengaruh India di tanah Jawa. Karena temuan ini menunjukkan awal pergerakan pengaruh budaya India di wilayah Ujung Kulon abad ke-7 masehi,” katanya.
Kepala Balai TNUK, Ardi Andono, menyambut baik tim BPK Wilayah VIII telah melakukan observasi hasil temuan arca di TNUK.
“Sehingga terkuak benda-benda yang penting untuk menguak sejarah di Taman Nasional Ujung Kulon. Ini suatu tabir yang baru terbuka di Ujung Kulon,” katanya.
Sebelumnya, Pamong Budaya Ahli Muda, Kemendikbudristek RI, Swedhi Hananta mengatakan, ia telah melakukan observasi temuan arca di Gunung Payung selama kurang lebih 10 hari.
“Situs arca yang ditemukan di Blok Gunung Payung terdiri dari empat arca pion dan dua arca kepala,” katanya.
Temuan situs arca di Gunung Payung masih perlu dilakukan penelitian lebih dalam.
“Masih harus diperdalam keterkaitan dengan situs yang lainnya. Karena jika dilihat dari motif, jenis batuan dan pahatan berbeda dengan situs-situs lain yang pernah dijumpai,” katanya.
Terkait situs di Ciuluran, Swedhi menilai, kalau situs itu merupakan yoni.
“Yoni merupakan personifikasi dari penjelmaan Dewa Siwa. Idealnya pasangan yoni adalah lingga yang biasa digunakan dalam upacara-upacara persembahan dewa,” katanya.
Kemungkinan, di sekitar Ciuluran pada masa lampau merupakan bekas pemukiman.
“Dengan perkiraan satu zaman dengan situs ganesha di Panaitan. Akan tetapi ini merupakan analisa sementara,” katanya.
Lebih lanjut, Swedhi mengatakan, pihaknya akan melakukan pendalaman dan studi lebih lanjut terkait temuan ini.
“Dengan temuan ini pula diharapkan menjadi informasi penting terkait kehidupan di masa lampau yang berada di wilayah tersebut. Dan juga menjadi kekayaan budaya bagi TNUK,” katanya. (*)
Editor: Agus Priwandono