CILEGON, RADARBANTEN.CO.ID – Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Banten meminta pemerintah untuk merevisi kebijakan larangan operasional truk angkutan barang selama 16 hari pada arus mudik dan balik Lebaran 2025.
Mereka menilai aturan ini terlalu panjang dan berpotensi merugikan industri logistik serta perekonomian nasional.
Ketua Aptrindo Banten, Syaiful Bahri, dalam konferensi pers di Sekretariat Aptrindo Banten, Kota Cilegon, Rabu (19/3), menegaskan bahwa durasi larangan operasional truk semakin panjang setiap tahunnya, tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan bagi para pengusaha dan sopir.
“Tahun lalu hanya 10 hari, sekarang jadi 16 hari. Ini sangat memberatkan bagi pengusaha dan para sopir,” ujarnya.
Aptrindo mencatat bahwa larangan ini berpotensi menyebabkan kerugian lebih dari Rp5 triliun bagi industri logistik. Di Provinsi Banten sendiri, terdapat 100.000 unit truk yang bergantung pada kelancaran distribusi barang untuk operasionalnya.
Sebagai solusi, Aptrindo meminta pemerintah memangkas durasi larangan menjadi hanya 8 hari, dengan rincian 4 hari sebelum Lebaran dan 4 hari setelah Lebaran.
“Kami meminta agar pemberhentian operasi truk hanya 8 hari, tidak usah terlalu lama,” kata Syaiful.
Ia menilai kebijakan ini justru menghambat roda perekonomian karena industri yang bergantung pada logistik akan ikut terdampak.
“Industri akan ikut berhenti, produksi terganggu, dan para sopir kehilangan pendapatan,” tambahnya.
Selain itu, Aptrindo menyoroti fakta bahwa pembangunan infrastruktur jalan, termasuk tol dan akses ke gudang, seharusnya dapat membuat distribusi barang lebih efisien, bukan justru semakin terbebani dengan aturan baru.
“Sekarang kan sudah banyak tol di mana-mana. Penambahan jalan dan infrastruktur harusnya jadi lebih efisien dong, bukan malah menambah beban biaya lagi. Padahal akses ke tol dan gudang lebih banyak sekarang,” tegasnya.
Sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap merugikan ini, Aptrindo secara nasional memutuskan untuk menghentikan operasional truk pada 20-21 Maret 2025.
“Sebagian besar truk akan berhenti di pool masing-masing, sementara yang lainnya akan berhenti di jalan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Aptrindo juga mengingatkan bahwa aturan ini berpotensi menimbulkan praktik penyimpangan di lapangan, seperti adanya pengawalan berbayar atau operasional secara sembunyi-sembunyi.
“Banyak yang terpaksa bermain kucing-kucingan atau bahkan membayar pengawalan agar bisa tetap beroperasi. Regulasi ini seperti dibuat abu-abu,” katanya.
Aptrindo berharap pemerintah lebih melibatkan pelaku usaha dalam perumusan kebijakan transportasi dan logistik, agar aturan yang diterapkan tidak justru menghambat dunia usaha.
“Regulasi jangan dibuat sepihak. Kami yang di lapangan yang tahu dampaknya. Jika logistik banyak yang berhenti, ini akan berdampak pada perekonomian nasional,” pungkasnya.
Aksi stop operasi truk pada 20-21 Maret 2025 menjadi bentuk protes Aptrindo terhadap kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada industri logistik.
Editor: Agung S Pambudi