Sulit menemukan lagu hit Dara Puspita atau grup musik lain yang berjaya di era 70-an? Lewat kreativitas sejumlah anak muda, lahir gerakan melestarikan lagu-lagu itu dalam sebuah pengarsipan digital bertajuk Irama Nusantara.
Sejumlah cover lagu zaman baheula terpajang di laman IramaNusantara.org. Di salah satu bagian website ada menu ‘Pilihan Editor’. Di dalamnya ada album lagu sejumlah penyanyi. Salah satunya album grup band perempuan Dara Puspita berjudul Jang Pertama.
Ada 12 lagu dari album yang dirilis pada 1966. Di antaranya, berjudul Surabaja, Mari-Mari, dan Burung Kakak Tua. “Ini lagunya berasal dari format piringan
hitam 12 inci,” ujar David Tarigan, salah seorang inisiator berdirinya Irama Nusantara.
Siang itu David berkumpul dengan empat rekannya sesama inisiator Irama Nusantara di sebuah kedai kopi khas Singapura di kawasan Panglima Polim, Jakarta Selatan. “Kami bukan komunitas, siapa pun bisa terlibat dalam kegiatan pengarsipan musik ini. Kami ini hanya yang memulai,” papar David memulai cerita tentang gerakan yang dimulai pada 17 Agustus 2013 tersebut.
Selain
David, ada enam orang lain yang menjadi inisiator gerakan itu. Yakni, Norman Rumahorbo, Dian Onno, Mayumi Haryoto, Toma Avianda, Alvin Yunata, dan Chris Priyonugroho. David mengaku, gerakan independen itu masih serba terbatas. Mereka belum memiliki sekretariat atau semacam base camp untuk berkumpul. “Jadinya ya seperti ini, kami sering ketemuan di banyak tempat,” jelasnya.
Berdirinya gerakan itu berawal dari kesamaan hobi enam anak muda tersebut. Beberapa di antara mereka merupakan kolektor piringan hitam dan kaset musik populer era 70-an dan sebelumnya. Mereka meyakini, ada banyak musik
populer Indonesia pada masa lalu yang hingga kini masih enak dinikmati. “Kami juga melihat ternyata susah sekali mencari data tentang musik-musik populer,” jelas David.
Dari situ kemudian tercetus ide untuk membuat sentra pendataan rilisan musik populer Indonesia dari zaman ke zaman. “Karena masih serba terbatas, kami sejauh ini melakukan pembatasan pengumpulan data,” papar Dian Onno.
Saat
ini Irama Nusantara mengonsentrasikan diri mencari musik populer Indonesia yang dirilis tahun 50-an sampai 70-an. “Kalau ada yang 80-an, itu sebagai bonus saja,” timpal David.
Ia menjelaskan, mereka tertarik mencari data musik mulai era 50-an karena zaman itu industri musik Indonesia lebih semarak. “Zaman itu lagu-lagu yang dirilis berpengaruh pada perkembangan musik kita,” jelasnya.
Berdasarkan
semangat tersebut, pada 17 Agustus 2013 mereka resmi membuat website IramaNusantara.org. Enam inisiator itu pun berbagai peran. Ada yang kebagian memindahkan format lagu dari piringan hitam atau kaset ke bentuk digital. Ada juga yang bertugas menggarap desain grafis, ada tukang ngoprek website (webmaster), pengisi konten, hingga publikasi untuk kegiatan-kegiatan off air. “Kalau tugas mengumpulkan data musik itu dilakukan semuanya. Dari jejaring pertemanan, kami mencari siapa yang memiliki koleksi-koleksi rilisan musik lawas,” terang Dian. Tanpa disangka, para inisiator banyak menerima rilisan musik jadul baik bentuk piringan hitam maupun kaset. Mereka bahkan sampai kewalahan.
Pengarsipan
rilisan-rilisan musik kuno bukan hal yang mudah. Terlebih untuk urusan mendigitalkan dari format piringan atau pita ke file digital. Digitalisasi itu banyak dikerjakan David yang memang memiliki perantinya. “Saya tidak mau sekadar memindahkan format. Saya usahakan merapikan suaranya. Tahu sendiri lah, koleksi kuno pasti kondisinya sudah usang,” ujarnya.
Hal itu bisa dirasakan dari lagu-lagu yang sudah di-upload di website. Misalnya, lagu Koes Bersaudara dalam album Djadikan Aku Dombamu. Di situ ada delapan lagu yang kualitasnya bisa didengarkan dengan baik. Padahal, album itu dirilis pada
1968 dalam bentuk piringan hitam 10 inci. Memindahkan piringan hitam yang dirilis tahun-tahun itu juga butuh kesabaran karena berbahan shellac yang gampang rusak. “Kalau yang bahannya karbon masih agak kuat,” papar David.
Tugas rumit juga dijalani bagian grafis. Mereka harus sabar me-retouch cover, baik dari piringan hitam maupun kaset. “Kondisi koleksi tahun-tahun itu banyak cover-nya yang sudah tidak utuh,” jelas Chris yang didapuk mengerjakan tugas tersebut.
Koleksi
rilisan musik lawas yang masuk database Irama Nusantara sudah ribuan. Semuanya masih beta. Artinya, banyak rilisan musik yang datanya belum komplet. Terutama, masih banyak rilisan musik yang suaranya belum ter-upload file. Sebab, hosting yang dimiliki IramaNusantara.org terbatas. Website itu hanya memiliki hosting dengan kapasitas tak sampai 500 megabyte (MB). Padahal, setiap satu file musik berukuran sekitar 5 MB.
Terkait dengan hak cipta dari musik-musik itu, David sudah mengomunikasikan dengan pihak label. “Kami sudah menemui beberapa. Tapi, banyak juga yang sudah tidak kami temukan karena
sudah tutup,” jelasnya.
Untuk perusahaan rekaman yang sudah tidak bisa ditemui, para inisiator biasanya mencari artis bersangkutan. “Intinya, banyak yang tidak keberatan. Malah banyak artis yang senang ada upaya ini,” ujar David.
Irama Nusantara kini sedang mencari volunter alias relawan untuk pengarsipan. Masih banyak koleksi yang belum terdigitalkan. Sejauh ini data di website yang masih
beta itu memang tergolong komplet. Seperti halnya Wikipedia, di website itu banyak informasi yang saling bertautan. Misalnya, ketika kita membuka album
Benyamin S berjudul Oom Senang, di sana ada sejumlah link yang akan bertautan dengan informasi lain. Dalam album Oom Senang terdapat lagu Dewi Amor yang dibawakan Benyamin dan Netty Jusuf. Penciptanya adalah Rachman A. Di tulisan nama-nama itu terdapat link yang berisi informasi lain. Jadi, kita bisa tahu siapa Netty Jusuf dan Rachman serta apa saja karya-karya mereka yang lain.
David dan para inisiator berharap website Irama Nusantara bisa seperti Wikipedia. Media itu bisa mengakomodasi siapa pun yang tertarik untuk menikmati atau mengkaji musik populer Indonesia dari zaman ke zaman. “Dari pengetahuan kami, banyak peneliti asing yang tertarik mengkaji musik-musik Indonesia,” jelasnya.
Mereka berharap siapa pun nanti bisa menambahkan data tentang musik Indonesia seperti halnya Wikipedia. “Kalau sudah seperti itu, kami hanya sebagai editornya,” harap Dian.
Untuk mewujudkan upaya itu, para inisiator itu kini rajin mengampanyekan gerakan tersebut. Mereka kerap ikut dalam sejumlah acara seni, budaya, dan kegiatan kreatif lainnya. Harapannya, upaya tersebut bisa mendapatkan dukungan dan partisipasi nyata yang lebih luas untuk mewujudkan pelestarian musik Indonesia. (RB/jpnn)