JAKARTA – Menjamurnya pelaku kejahatan seksual pada anak
disinyalir karena terlalu ringannya hukuman untuk mereka. Dalam Undang-undang
Perlindungan Anak, para pelaku kejahatan seksual pada anak akan dikenakan
hukuman maksimal 15 tahun penjara. Namun sayangnya pada prakteknya, vonis itu
jarang sekali diberikan pada pelaku
Bahkan, menurut Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan
Anak(Komnas PA) Arist Merdeka Sirait, tak jarang vonis bebas juga diberikan
pada para predator anak-anak tersebut.
Melihat hal ini, Arist merasa hukum yang ada kurang berpihak
pada perlindungan anak. Karenanya, Komnas PA mengusulkan adanya hukuman lain
bagi para pedofilia ini.
“Berlatar belakang dari vonis yang tidak pernah
masksimal, kami merasa perlu ada cara lain untuk membuat mereka jera. Salah
satunya dengan suntik kebiri,” ujar Arist di Jakarta yang dilansir
jpnn.com, Rabu (07/05).
Arist mengatakan, hukuman itu cukup setimpal, mengingat
penderitaan seumur hidup yang harus diderita korban. Tak hanya penderitaan
fisik yang susah untuk hilang, namun juga trauma yang bahkan bisa berefek
panjang.
Hukuman suntik kebiri ini dikatakannya telah diterapkan
disejumlah negara lainnya. Salah satunya Inggris. Menurut penuturannya, Inggris
telah menerapkan hukuman ini sejak lama.
Kebijakan tersebut muncul setelah kejahatan seksual pada
anak masuk dalam kategori kejahatan luar biasa. “Setelah mereka bebas,
mereka juga dipasang chip. Gunanya untuk memantau mereka. ada juga yang ditato
sebagai penanda,” tuturnya.
Diakuinya cara ini tidak bisa menjamin 100 persen sang
pelaku tidak akan mengulangi kembali perilaku jahatnya. Namun ia bersikukuh,
dengan adanya hukuman suntik kebiri ini maka efek jera akan timbul. Pelaku akan
berfikir dua kali untuk kembali melakukan aksinya.
“Memang tidak otomatis berhenti. Meski sudah dihukum
kalau dorongan itu masih sangat tinggi pasti dia akan mencoba melakukannya
lagi. Tapi paling tidak hukuman tersebut dapat menimbulkan efek jera,”
pungkasnya.
Usulan suntik kebiri telah ia sampaikan pada anggota komisi
III DPR RI Selasa (06/05) malam. Pihaknya berharap, usulan tersebut bisa
dijadikan pertimbangan dalam penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang tengah dikaji. “Mereka secara positif menyambut usulan dari kami.
Semoga bisa dijadikan pertimbangan,” ungkapnya.
Sementara itu, Mabes Polri meminta masyarakat lebih proaktif
dalam perlindungan anak. Kepekaan masyarakat terhadap kondisi anak-anak dan
orang di sekitarnya akan membantu mencegah terjadinya kasus pedofilia.
“Bila sudah terjadi, sesegera mungkin melapor ke aparat setempat,”
ujar Kabagpenum Divhumas Polri Kombes Agus Rianto kemarin.
Dia mencontohkan 64 kasus yang ditangani Polda Riau empat
bulan terakhir. Banyaknya kasus yang ditangani menandakan masyarakat Riau lebih
proaktif untuk menanggulangi kejahatan pedofilia. Begitu mengetahui ada
kejadian, langsung dilaporkan ke kepolisian sehingga pelaku tidak sempat
melarikan diri. Karena itu, dia meminta masyarakat di provinsi lain juga
melakukan hal serupa. Keaktifan masyarakat akan mempersempit ruang gerak
pelaku.
Disinggung mengenai upaya hukum, Agus menyatakan jika
penyidik sudah berupaya maksimal dalam menjerat pelaku pedofilia. Berbagai
Undang-Undang terkait kejahatan seksual terhadap anak dijeratkan kepada para
tersangka. Mulai KUHP, UU Perlindungan anak, hingga UU Pornografi dan ITE jika
kejahatannya mengandung unsur pornografi.
“Undang-undang menjadi pedoman, namun untuk selanjutnya
kita serahkan ke pengadilan. Keputusan ada di tangan majelis hakim,”
lanjutnya. Yang terpenting, pihaknya telah mengupayakan jeratan hukuman melalui
prosedur yang benar. Bagaimanapun, penyidik adalah pihak yang kali pertama
menentukan bakal hukuman untuk para pelaku kejahatan. (mia/byu)