SERANG – Aksi besar-besaran mahasiswa Untirta yang mengkritisi
fasilitas kampus dan proyek pembangunan laboratorium serba guna yang mangkrak, membuat
kelanjutan pendidikan mahasiswa terancam. Pihak rektorat Untirta melayangkan
surat kepada orangtua mahasiswa yang melakukan aksi dengan ancaman akan memecat
mahasiswa yang melakukan demo.
Surat bernomor 245/UN43/KM/2014 disebar kepada orangtua mahasiswa
yang ditengarai melakukan aksi dan provokasi kepada mahasiswa lain untuk
menuntut pihak rektorat. “Kami menyayangkan pihak kampus merespons dengan
respons represif seperti ini,” ungkap Mahendra, mahasiswa Fakultas Hukum Untirta
kepada wartawan dalam konfrensi pers di Untirta, Rabu (4/6/2014).
Mahendra mengatakan bahwa mengirim surat kepada orangtua
mahasiswa ini sebagai pola ketidakdewasaan pihak rektorat yang gagal melakukan
dialog dengan mahasiswa. “Kami tidak merasa khawatir atas indikasi
intervensi ini, karena apa yang kita lakukan lahir dari sikap kita berdasarkan
analsia yang bisa dipertanggungjawabkan. Kami siap menerima apaun
risikonya,” paparnya.
Ia juga menyayangkan pihak rektorat yang menyikapi sikap
kritis mahasiswa dengan tindakan represif. “Dalam surat itu tersirat
ancaman gerakan akan berpengaruh pada aspek akademik,” ungkapnya.
Dalam aksi ini, mahasiswa menutup mulut dengan plester hitam
simbol sebagai matinya kesempatan utuk bicara dan mengemukakan pendapat di Untirta.
Mereka memampang spanduk berisi keprihatinan mereka atas sikap rektorat.
Wakil Dekan III Fisip Untirta Gandung Ismanto yang juga
hadir dalam konfrensi pers menganggap wajar aksi yang dilakukan mahasiswa.
“Demo kemarin buah apa yang dilakukan dosen menumbuhkan sikap kritis
kepada mahasiswa. Secara substansi mahasiswa ingin pengembangan kampus di masa
depan. Memang cara menyampaikan pendapat harus sesuai dengan norma akademik dan
hukum. Harusnya budaya dialog dikembangkan,” terangnya.
Selanjutnya menyikapi kejadian ini Gandung menilai budaya
anti-kritik dan feodal, serta menutup ruang dialog antara kampus dengan
mahasiswa terjadi di Untirta. “Ada asap pasti ada api. Kalau mahasiswa demo
menutut perbaikan fasilitas, seharusnya pihak rektorat kampus galak ke pelaksana
proyek dan memperbaiki fasilitas, bukan malah galak kepada mahasiswa,”
paparnya.
Dosen lain yang juga hadir dalam konfrensi pers siang ini,
Firman Hadiansyah mengatakan bahwa bentuk pemanggilan orangtua mahasiswa tidak
mencerminkan pola pendidikan tinggi. “Di kampus kan ada wali akademik atau
pembimbing akademik. Maka yang harus turun jika mahasiswa ada masalah adalah pembimbing
akademik, bukan memanggil orangtuanya seperti di sekolah dasar. Kalau di SD
wajar karena siswanya masih anak-anak belum dapat bertanggung jawab atas
tindakannya. Kalau mahasiswa kan pendidikan untuk manusia dewasa. Kenapa tidak
memanggil dan mengajak dialog mahasiswanya saja,” pungkasnya.
Diketahui, lima orangtua mahasiswa mendapat panggilan oleh
pihak rektorat Untirta. Lima mahasiswa itu diindikasi akan terkena sanksi
akademik lantaran dianggap menggangu ketertiban kampus Untirta. (WAHYUDIN)