Berjarak 25 kilometer dari Serang sebagai ibukota Provinsi Banten, kehidupan warga di Desa Cikedung, Kecamatan Mancak, Kabupaten Serang, sungguh memprihatinkan. Ratusan warga dua kampung -dari delapan kampung- di sana, benar-benar hidup terisolasi. Wartawan Radar Banten, Minggu (21/8) lalu, berkesempatan mengunjungi desa yang berada di tengah Cagar Alam Rawadanau, Gunung Tukung Gede.
—–
SERANG – Akses jalan menuju Desa Cikedung seperti membelah hutan belantara. Hanya ada satu akses jalan utama menuju wilayah yang didiami 4.353 orang. Kondisi jalan yang rusak membuat jarak 10 kilometer dapat ditempuh satu jam setengah. Itu pun dengan naik motor. Kemungkinan akan lebih lama jika ditempuh dengan naik mobil. Sepanjang perjalanan, kurang dari 10 warga berpapasan di jalan.
Desa Cikedung terdiri atas delapan kampung yakni Kampung Bulakan, Kalongberan, Ujungpari, Babakan, Kampungbaru, Pasirmenteng, Pasirpicung, dan Mulyasari. Saat ke sana, hari menjelang senja. Dibantu relawan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Serang Joni Ewangga, perjalanan membelah kegelapan belantara itu dimulai. Lantunan suara aneka serangga terdengar jelas. Sesekali, kilau cahaya kunang-kunang menghiasi kiri dan kanan jalan desa yang terkena bencana longsor ini.
Di tengah jalan, kami terpaksa berhenti lantaran perut terasa perih akibat guncangan selama berkendara. Joni yang menjadi guide tak cerita banyak perjalanan malam itu. Siang harinya, ia baru menunjukkan wajah asli jalan yang ternyata cukup curam.
Kondisi jalan tanah liat bercampur bebatuan kerikil. Beberapa bagian jalan aspalnya sudah mengelupas. Tanda-tanda kehidupan mulai tampak ketika memasuki Kampung Kalongberan. Di kampung itu Kades Cikedung, Arkani tinggal. Sekadar diketahui, listrik masuk ke Desa Cikedung baru pada 2012 lalu.
Kondisi jalan satu-satunya menuju Desa Cikedung yang buruk sudah lama jadi keluhan warga. Ditambah bencana longsor belum lama ini, makin membuat Desa Cikedung terisolasi. Kondisi terparah dialami dua kampung yakni Pasirpicung dan Mulyasari yang benar-benar tak bisa dilalui kendaraan.
“Kita terima kasih atas bantuan sembako dari banyak pihak, tapi yang kita butuhkan sekarang dibangunin jalan biar bagus,” keluh Arkani di depan beberapa ketua rukun tetangga (RT) dan rukun kampung (RK) yang kebetulan sedang kumpul di rumah sang kades.
Usai mendengarkan keluhan Arkani, perjalanan dilanjutkan ke Kampung Pasirmenteng dengan melewati Kampungbaru. Jalan di kampung ini terbilang lebih baik meski tanah liat. Jalan sedikit licin lantaran sebagian masih tergenang air, perjalanan hingga Pasirmenteng cukup lancar. Karena hari sudah gelap, kami memutuskan singgah di rumah Rukman, Ketua RT Kampung Pasirmenteng.
Selain jalur darat, khusus di Kampung Pasirmenteng, banyak warga memanfaatkan jalur transportasi danau yang menghubungkan Kecamatan Padarincang dan Kecamatan Mancak. Selain warga Pasirmenteng, warga Pasirpicung dan Mulyasari juga banyak yang memanfaatkan getek sebagai sarana transportasi.
“Kita juga biasa jalan pakai getek lewat Rawadanau untuk belanja atau jualan beras, sayur, dan segala hasil bumi ke Padarincang, Ciomas, Mancak, dan Cinangka,” kata Rukman.
Menurut Rukman, untuk naik getek warga harus berjalan kaki ke tepi danau melewati pematang sawah. Jarak dari kampung Pasirmenteng sekira 500 meter. Satu warga dikenakan ongkos Rp25 ribu sampai Rp30 ribu. “Satu perahu sewanya Rp300 ribu. Jadi kita kalau mau menyeberang harus rombongan 10 orang biar enggak kemahalan bayarnya,” kata Rukman.
Perjalanan, lanjutnya, akan menghabiskan waktu satu hingga dua jam tergantung tujuan. Namun, jangan kaget jika menyeberangi danau akan berjumpa dengan buaya. “Buaya masih ada. Malah banyak buaya. Tapi, enggak usah khawatir, kalau sama masyarakat sinimah, buayanya baik,” ujar Rukman sembari tersenyum.
Meski mayoritas berprofesi sebagai petani, rumah warga di kampung ini sebagian sudah permanen. Sebagian lagi semipermanen. Namun, tak jarang dijumpai rumah yang hanya terbuat dari gedek (anyaman bambu). Khususnya di Kampung Pasirpicung dan Mulyasari yang terletak paling ujung.
Menurut Ketua RT 08 Kampung Pasirpicung Bahkrudin, sebelum longsor, masyarakat harus menempuh waktu setengah hari untuk keluar desa dengan jalan kaki. “Setelah longsormah tambah parah. Bisa satu harian kita kalau cuma mau ke pasar buat beli kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Selain itu, kebutuhan air bersih pascalongsor juga semakin sulit. Kata dia, sebelum longsor masyarakat tidak pernah mengeluh soal air. “Sekarang habis zuhur saja kadang sudah kering dan kehabisan,” keluhnya.
Sementara, untuk fasilitas pendidikan, Desa Cikedung memiliki dua sekolah dasar yakni SD Cikedung dan SD Bulakan. Lalu, satu SMP satu atap yang berlokasi satu titik dengan SD Bulakan. Namun, akses jalan dari Kampung Bulakan (kampung terluar) dengan kampung lain cukup sulit dan terjal. Oleh karena itu, warga tujuh kampung lain di Desa Cikedung lebih memilih menyekolahkan anaknya di SD Cikedung yang berlokasi di Kampungbaru. Apalagi, sejak masuknya listrik 2012, SD Cikedung sudah diberi kepercayaan untuk menjalani ujian sekolah mandiri. “Dulunya kalau ujian kita masih menginduk di Bulakan,” kata Kepala SD Cikedung, Sobari.
Ia mengungkapkan, saat ini ada sekira 189 anak dari kelas I hingga VI yang bersekolah di sana. Namun, ia juga tidak mengelak jika setelah lulus SD banyak anak yang tidak melanjutkan ke jenjang SMP. “Tapi alhamdulillah dua tahun ini sejak ada SMP satu atap di Bulakan anak-anaknya sudah mulai melanjutkan lagi. Kemarin, kita ada 36 orang yang lulus juga semuanya melanjutkan,” katanya.
Dari informasi yang dihimpun, mayoritas masyarakat Desa Cikedung cuma tamatan SD. Dari tujuh kampung di Desa Cikedung, para ketua RT dan RK-nya cuma lulusan SMP. Sedangkan, anak yang masih lanjut di bangku SMA sederajat tak lebih dari 20 orang.
“Teman seangkatan saya saja ada 16 angkatan yang sampai SMA cuma tiga orang. Dan, yang kuliah ada dua orang. Kalau yang lain milih kerja dan nikah. Malah yang perempuan sudah menikah semua dan laki-lakinya cuma tinggal tiga orang yang belum,” kata Heri Irawan yang saat ini masih kuliah semester V teknik Industri di salah satu kampus swasta di Kota Serang.
Sementara, pelayanan kesehatan di Desa Cikedung hanya ada satu puskesdes dan empat posyandu. Puskesdes satu-satunya yang terletak di Kampungbaru ini sekarang sudah tidak bisa digunakan lagi untuk melayani pelayanan kesehatan. Itu akibat longsor, tembok bagian belakang puskesdes jebol. Kondisinya memprihatinkan dengan timbunan lumpur 30 sentimeter. Meski masih terpampang plang puskesdes, bangunan ini hanya meninggalkan beberapa arsip kegiatan puskesdes yang masih tergantung di tembok. Termasuk lemari yang tampak kotor penuh lumpur. (Supriyono/Radar Banten)