Kanker mata yang diderita sang putri membuat pasangan suami istri Rizwan dan Desy mempelajari ilmu okularis alias pembuatan mata palsu. Setelah berhasil menolong sang putri, mereka bertekad membantu penderita lainnya.
AGFI SAGITTIAN-Tangerang Selatan
Libur di hari Minggu tak ada dalam kamus Rizwan, 32, dan Desy, 36. Minggu pagi itu (25/3) keduanya sudah sibuk di klinik sederhana berukuran sekitar 2,5 x 2,5 meter di rumah mereka di Kompleks Sarana Indah Permai, Ciputat, Tangerang Selatan. Rizwan terlihat berkonsentrasi menghaluskan butiran-butiran akrilik dengan sebuah mesin. Sementara itu, Desy sibuk dengan berkas-berkas di meja dan sesekali berkomunikasi dengan salah satu orang tua pasien.
Klinik yang diberi nama Ilyarsi Okularis itu memang tetap buka saat Minggu. Hari itu beberapa pasien sudah datang sejak pagi. Di antaranya, anak-anak berusia di bawah sepuluh tahun yang datang bersama orang tuanya. Mereka antre untuk diperiksa kondisi matanya. Dari klinik kecil itu pula, lahir tekad besar Program 1.000 Mata Palsu untuk Anak Indonesia.
Merujuk Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 Kementerian Kesehatan, penderita kanker anak umur 0–14 tahun tercatat sekitar 16.291 kasus. Dari jumlah itu, leukemia alias kanker darah ada di urutan pertama. Adapun retinoblastoma (kanker bola mata) ada di urutan kedua.
Rizwan menceritakan, Program 1.000 Mata Palsu itu terpantik sejak Falisha Sarvia Ilyarsi, putrinya yang kini berusia tiga tahun, menderita kanker mata saat usianya baru satu setengah bulan. Retinoblastoma menyerang selaput jala mata atau retina yang terletak pada dinding mata sebelah dalam. Retinoblastoma dapat menyerang salah satu atau kedua mata. Kedua mata Falisha terserang kanker.
Tak lama, kanker ganas itu merenggut penglihatan kedua bola mata putri kecilnya. Meski Falisha tak dapat lagi melihat, Rizwan dan Desy berupaya mendapatkan bola mata palsu yang berkualitas. Namun, itu bukan hal mudah. ”Kami mengerti bagaimana susahnya mencari mata palsu. Kami mengerti sebagai orang tua pasti ingin mencarikan yang terbaik untuk anaknya,” ujar Rizwan.
Pria berkacamata itu lantas menunjukkan dua kotak yang berisi mata palsu yang berbeda. Satu kotak berisi mata palsu yang beredar di Indonesia, satu kotak lagi berisi mata palsu buatan dia sendiri. Dari tampilan fisik, mata palsu yang beredar di Indonesia memang terlihat kusam dan ketebalan serta diameternya sama. Sedangkan mata palsu buatan Rizwan tampak lebih cerah serta tak ada bentuk yang sama satu dengan yang lain. ”Mata palsu seharusnya dibuat sesuai kebutuhan. Yang beredar selama ini kebanyakan kalau dipakai kebesaran, terlihat juling, dan sebagainya,” ujar Rizwan.
Mata palsu memang tak akan mengembalikan kemampuan pengelihatan. Tapi, mata palsu penting untuk meningkatkan rasa percaya diri penderita sakit mata yang membutuhkan. Rizwan dan Desy merasa iba jika anak dikucilkan hanya karena memakai mata palsu yang tidak layak. ”Saya masih ingat pernah ajak anak saya jalan ke mal dengan menggunakan mata palsu. Tapi, karena waktu itu mata palsunya tidak seberapa bagus, ada orang yang melihat sinis sekali pada anak saya. Jadi pengin nonjok aja rasanya,” kata Desy geram.
Belum lagi, Rizwan dan Desy sering mendengar cerita dari sesama orang tua penderita, anaknya menjadi korban bully di sekolah dan di rumah. ”Ada yang dikatain bajak laut, mata satu, dan sebagainya. Kasihan kan kalau anak sampai digitukan,” ujar Desy. Terlebih, mata palsu yang umumnya ada di Indonesia kebanyakan menggunakan akrilik gigi palsu sebagai bahan dasarnya. Bahan yang kurang bagus dapat membuat mata bereaksi dengan terus-menerus mengeluarkan kotoran. ”Dulu kami sudah mencoba mengganti beberapa kali mata palsu untuk Falisha. Tapi, hasilnya tetap sama. Matanya terus-menerus mengeluarkan kotoran,” tambah Rizwan.
Akhirnya, pada 2015 Rizwan memutuskan mulai belajar membuat mata palsu. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Pasundan itu tak punya latar belakang medis. Bermodal belajar dari YouTube dan berbagai referensi dari internet, Rizwan gigih mempelajari cara membuat mata palsu yang baik.
Membuat mata palsu memang tak semudah yang dibayangkan. Dalam proses belajarnya, Rizwan menemui banyak kendala. Namun, upaya untuk mencari informasi pada spesialis pembuat mata palsu di Indonesia nihil. Tak banyak yang tahu dan mau menjawab kesulitan Rizwan. Dia pun berusaha mencari bantuan pada okularis-okularis di luar negeri dengan mengirimkan e-mail ke beberapa spesialis di Singapura, Australia, Inggris, dan sebagainya.
Upaya Rizwan pun menemui hasil. Salah satu okularis asal Nottingham Trent University, Inggris, yakni John Pacey-Lowrie, membalas e-mail Rizwan. Saat itu John menanyakan mengapa Rizwan begitu tertarik mengetahui cara membuat mata palsu. Ketika mengetahui bahwa usaha yang dilakukan Rizwan adalah untuk anaknya, John pun menawarkan diri untuk datang ke Indonesia dan membimbing Rizwan.
Bersama John, Rizwan menekuni pelatihan singkat selama dua minggu. Bermodal pengetahuan yang sudah dimiliki, Rizwan mengaku lebih mudah memahami pelajaran-pelajaran yang disampaikan John. ”Memang ada satu teknik yang selama ini tidak saya mengerti. Itu juga yang membuat mengapa mata palsu umumnya memiliki kualitas yang kurang baik,” ujar Rizwan.
Setelah mendapat pelatihan khusus tersebut, Rizwan pun bisa membuat mata palsu yang baik untuk putri kesayangannya. Berangkat dari situ, Rizwan dan Desy memiliki keinginan membantu anak-anak lain yang menderita penyakit mata dengan Program 1.000 Mata Palsu khusus bagi keluarga tidak mampu. ”Program itu sudah kami mulai sejak Januari 2018. Sampai saat ini sudah ada sekitar 50 pasien yang mendaftar. Tapi, baru sekitar 10 yang sudah terealisasi,” ujar Desy.
Ketika berkunjung ke klinik, penulis bertemu dengan salah seorang pasien. Yakni, Muhammad Fadhli, 4, anak pasangan Septiadi, 33, dan Nila Zahra, 33, warga Kota Tua, Jakarta Utara. Fadhli yang menderita kanker mata sejak usia setahun tersebut menggunakan mata palsu dari sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Sang ibu membawa Fadhli ke klinik Rizwan dengan harapan mendapat mata palsu yang lebih baik.
”Menggunakan mata palsu yang dari rumah sakit, mata Fadhli sering mengeluarkan kotoran. Selain itu, ketika dipakai salat saat sujud, mata palsunya selalu terlepas karena ukurannya yang tidak sesuai,” ucap Nila.
Program 1.000 Mata Palsu diharapkan Rizwan dan Desy dapat meringankan beban orang tua pasien anak. Sebab, di luar Program 1.000 Mata Palsu, Rizwan dan Desy mematok harga Rp 7 juta untuk setiap mata palsu. Harga tersebut sangat terjangkau karena harga mata palsu dengan standar internasional bisa Rp 10 juta hingga Rp 25 juta. ”Tapi, untuk keluarga tidak mampu, kami berikan gratis. Ada yang pernah datang dari ayahnya hanya sebagai tukang ojek. Lalu, setelah tahu harganya, urung membuatkan mata palsu untuk anaknya. Kan kalau seperti itu kasihan,” ujar Desy.
Sampai sejauh ini, Program 1.000 Mata Palsu yang dijalankan Rizwan dan Desy telah mendapat dukungan langsung dari beberapa BUMN. Misalnya, Waskita Karya, BTN, Telkom, Jasa Raharja, Biro Klasifikasi Indonesia, dan beberapa perusahaan pelat merah lainnya. Menurut Desy, dukungan tersebut sangat berarti karena banyak membantu mereka untuk menjalankan programnya.
Pendaftar Program 1.000 Mata Palsu tak hanya datang dari Jakarta. Bahkan, Desy menceritakan, pendaftar pertama datang dari Sulawesi. Hanya karena kesulitan akses transportasi, sampai sekarang pasien tersebut belum bisa ditangani. ”Karena alat-alat semua harus dibawa. Maka, kami berharap juga ada support dari dinas kesehatan di daerah untuk membantu mengumpulkan pasien dan setidaknya tempat untuk kami praktik di sana,” tutur Desy. (JPG/FUL/SUB/RBG)