Memang cinta tak bisa dipaksa, tapi percaya atau tidak, cinta juga bisa tumbuh karena terbiasa. Kisah kali ini berasal dari sebuah kampung di Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang. Sebut saja namanya Nani (51). Wanita yang sempat merantau ke Arab Saudi menjadi TKI ini mengaku, awalnya sama sekali tidak mencintai sang suami, sebut saja Uned (49).
Memiliki pengalaman pahit dengan suami pertama, Nani tak ingin salah pilih dalam menentukan pendamping hidup. Bukan hanya selektif dalam hal akhlak dan materi, ia pun mempertimbangkan soal penampilan. Apalah daya, Uned yang berasal dari keluarga tak punya dan tak dianugerahi wajah tampan, sempat ditolak mentah-mentah oleh Nani. Aih-aih, jahat amat sih Teh!
“Ya waktu itu saya khilaf, Kang. Namanya juga trauma masa lalu, jadi enggak bisa sembarangan milih pasangan,” kata Nani kepada Radar Banten.
Nani bercerita, ia yang waktu itu baru pulang dari Arab, memiliki banyak harta hasil tabungan lima tahun bekerja. Membangun rumah dan membeli kendaraan pribadi, membuatnya dibicarakan banyak lelaki. Tak ayal, seminggu sekali, ada saja tamu yang datang ke rumah bermaksud mengajak menikah. Waduh.
“Saya tuh ke Arab karena frustasi dicerai suami, jadi pas pulang kan masih kosong tuh. Jadi wajar mereka pada ngejar-ngejar, soalnya waktu itu usia juga enggak tua-tua amat,” terang Nani.
Silih berganti lelaki menawarkan diri, Nani tak kunjung mendapat kecocokan di hati. Sampai akhirnya lantaran malu pada orang-orang kampung, orangtua pun turun tangan mencarikan lelaki untuk sang putri. Dibawalah Uned menemui Nani. Namun bukannya senang, ia malah cemberut menunjukkan penolakan.
Uned yang tampak kalem dengan pakaian islami lengkap dengan peci hitam, sadar akan situasi yang terjadi. Maka tak menunggu waktu lama, belum usai obrolan panjang bersama Nani dan keluarga, ia pamit mengundurkan diri. Ayah Nani pun semakin tak enak hati, meski sudah dicegah untuk tetap tinggal, namun Uned tegas ingin pergi. Ya ampun.
“Ya pas pertama kali lihat, saya langsung ngerasa enggak sreg gitu. Maaf ya, Kang, soalnya dulu sebenarnya Kang Uned itu bukan kriteria lelaki idaman saya,” akunya.
Apalah daya, sang ayah pun memarahi Nani. Tapi lagi-lagi, mungkin merasa tinggi hati, Nani selalu membantah apa yang dikatakan ayahnya. Sampai tiba di batas kesabaran, sang ayah membentak Nani. Anehnya, mungkin begitu cara Tuhan memberi hidayah, saat itu Nani langsung tertegun, lidahnya mendadak kelu. Tak sadar, air mata mengalir di pipinya. Waduh, memang diomongin bagaimana, Teh?
“Jadi manusia itu jangan sombong, sekarang banyak uang besok bisa jatuh miskin. Kamu itu harus bersyukur bisa pulang sehat dari Arab dan punya uang, banyak TKI lain yang bernasib buruk. Sudah jangan cari yang macam-macam, Uned itu lelaki baik, lulusan pesantren. Dia bisa bawa kamu ke jalan yang benar,” begitu kata Nani meniru ucapan sang ayah.
Seketika itu juga, ada rasa menyesal di relung hati Nani. Ia memohon ampun pada sang ayah. Namun oleh ayahnya, Nani diminta untuk meminta maaf langsung kepada Uned. Maka dengan penuh rasa bersalah, dua hari setelah peristiwa itu, Nani bersama sang ibu datang menghampiri Uned ke rumahnya.
Uned tampak bersahaja. Ia menerima Nani dan ibunya bak tamu terhormat. Dengan senyum hangat, Uned mengaku, tak ada masalah. Nani tak perlu meminta maaf. Dengan kerendahan hatinya, di rumah yang amat sederhana, ia melayani sang tamu bagaikan raja.
Entah mendapat hidayah atau memang tersentuh akan sikap lembut Uned, sepulangnya Nani bersama sang ibu, ia menyatakan kesediaannya menikah dengan Uned. Sang ayah pun tersenyum bahagia. Seolah tak ingin mengulur waktu, sebulan kemudian berlangsunglah pernikahan.
Mengikat janji sehidup semati, Nani dan Uned resmi menjadi sepasang suami istri. Namun anehnya, Nani malah bersikap acuh tak acuh. Menerima dinikahi bukan berarti membuatnya patuh setulus hati. Di awal pernikahan, ia tampak malas-malasan dan terkesan tak mencintai.
“Ya waktu itu saya enggak bisa langsung terima dia, butuh waktu gitu, Kang,” ungkap Nani.
Pekerjaan Uned yang hanya mengajar agama di pesantren, membuat Nani semakin tak bersemangat menjalani hari. Bayang lelaki tampan dan pekerja kantoran, tak ayal menjadikannya semakin mengesampingkan sosok suami. Terlebih dengan sikap pendiamnya, Uned semakin tak dianggap.
Hingga dua bulan setelah pernikahan, Nani penasaran dengan tingkah suami yang kerap bangun di sepertiga malam. Bagai harimau yang tengah mengintai mangsa, Nani diam-diam memperhatikan gerak-gerik Uned. Melangkah menuju kamar mandi, kemudian masuk ke ruang pojok rumah, Uned melaksanakan salat sunah.
Sampai akhir rakaat, Uned mengangkat kedua tangannya. Tak disangka, sang suami berdoa untuk istri dan keluarga sambil menitikkan airmata. Saat itu juga, untuk kedua kalinya, Nani merasa tersayat hati menyaksikan bagaimana mulianya akhlak suami.
“Waktu itu saya ngerasa jadi istri paling berdosa, Kang. Dia yang saya benci, ternyata selalu mendoakan saya dan keluarga,” curhatnya.
Keesokan harinya, Nani mencium punggung tangan Uned, ia menangis tersedu sedan memohon ampun pada sang suami. Uned pun memeluk erat Nani dan mencium keningnya. Berjalan dua tahun usia pernikahan, lahirlah anak pertama, membuat hubungan Nani dan Uned semakin mesra.
Merasa perlu ada peningkatan perekonomian, dengan uang sisa tabungan, Nani membeli sawah untuk digarap Uned. Dengan kerja keras dan keuletan, mereka pun kini menjadi keluarga sejahtera, Nani dan Uned hidup bahagia.
Subhanallah, semoga Teh Nani dan Kang Uned langgeng terus sampai mati. Amin. (daru-zetizen/zee/RBG)