SERANG, RADARBANTEN.CO.ID – Nadir Sudrajat, Aswan alias Emon dan Deden Hidayat, terdakwa kasus pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax di SPBU Ciceri, Kota Serang divonis pidana masing-masing 2,5 tahun.
Ketiganya dinilai terbukti bersalah melanggar dakwaan penuntut umum Pasal 54 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
“Menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa masing-masing selama 2 tahun dan 6 bulan penjara,” kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Serang, Diah Astuti, dikutip dari laman resmi PN Serang, Jumat 26 September 2025.
Ketiga terdakwa juga dihukum pidana tambahan berupa denda masing-masing Rp 70 juta. Jika denda tersebut tidak dibayar makan diganti kurungan selama satu bulan. “Denda Rp 70 juta,” ujar Diah.
Dalam vonis itu, majelis hakim tidak sependapat dengan tuntutan penuntut umum yang menuntut ketiganya berupa pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan.
Majelis berpendapat bahwa ketiganya terbukti bersalah dalam kasus pengoplosan BBM tersebut. Ketiganya juga dianggap telah mencoreng nama baik PT Pertamina dan merugikan masyarakat.
Namun demikian, ketiganya telah menyesali perbuatannya sehingga menjadi pertimbangan yang meringankan pada diri mereka. “Terdakwa menyesali perbuatannya,” ujar Diah.
JPU Kejari Serang, Selamet menjelaskan, perkara tersebut bermula pada Jumat, 17 Maret 2025. Saat itu, terdakwa Deden dihubungi oleh Aswan, yang menyampaikan niatnya membeli BBM jenis Pertamax murah. Namun Deden belum memiliki stok.
Beberapa hari kemudian, Deden dihubungi Marko, yang kini masih buron (DPO). Marko diketahui menawarkan BBM hasil olahan sebanyak 16 ribu liter. “Terdakwa Deden menyetujui tawaran tersebut dan langsung menghubungi saksi Aswan dalam rangka menawarkan BBM Jenis Pertamax tanpa Surat Jalan dan tanpa DO seharga Rp10.200 per liter,” ucap Slamet.
BBM tersebut kemudian dikirim ke SPBU 34.421.13 Ciceri di Kota Serang pada malam 20 Maret 2025 menggunakan mobil tangki berwarna merah putih bertuliskan PT Pertamina. Proses pembongkaran dilakukan di hadapan Deden dan disaksikan langsung oleh dua terdakwa lainnya yang merupakan pengelola SPBU.
“Dalam rangka untuk membuat BBM Jenis Pertamax hasil olahan bukan dari PT Pertamina tersebut seolah-olah sebagai BBM jenis Pertamax yang diproduksi oleh PT Pertamina, selanjutnya Nadir Sudrajat dan Aswan kemudian mengarahkan terdakwa Deden untuk mencampurkannya dengan Pertamax asli yang masih ada di tangki pendam,” ujar Selamet.
Selamet mengatakan, sebanyak 8 ribu liter Pertamax resmi dicampurkan dengan BBM olahan untuk menyamarkan tampilan dan warnanya. Setelah itu, Aswan membayar Rp80 juta dari total nilai Rp152 juta kepada Deden.
Namun, setelah penjualan kembali dibuka, karyawan SPBU menemukan kejanggalan dari warna BBM yang berbeda. “Saksi Samsul kemudian melaporkannya kepada saksi Nadir Sudrajat selaku Manager Operasional SPBU. SPBU pun segera ditutup sementara untuk mencari solusi,” kata Selamet.
Atas temuan tersebut, Deden kembali menawarkan dua opsi. Yakni BBM disedot ulang atau diberikan obat pewarna. Namun saran tersebut ditolak oleh Nadir dan lebih memilih untuk mencampur 8 ribu liter Pertamax yang dibeli dari Pertamina.
“BBM jenis Pertamax tersebut langsung dilakukan pembongkaran supaya warna BBM jenis Pertamax hasil olahan yang ada di dalam tangki pendam tersebut berubah menjadi warna Biru terang sesuai dengan warna BBM Pertamax yang asli dari Pertamina,” ungkap jaksa senior asal Lampung ini.
Selamet menegaskan, meski pencampuran telah dilakukan dua kali, keluhan dari konsumen tetap bermunculan. Pada Minggu malam, (23/3) dua nozzle di SPBU itu dilaporkan menghasilkan BBM dengan warna mencurigakan. Polda Banten pun turun tangan pada Senin, 24 Maret 2025.
“Penyidik dari Subdit IV Tipidter Polda Banten menyegel dua nozzle serta mengambil empat sampel BBM dari tangki pendam untuk diuji laboratorium,” ujar Slamet.
Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa salah satu parameter, yaitu Final Boiling Point (FBP) melebihi batas maksimal yang ditetapkan Dirjen Migas, yakni mencapai 218,5, padahal ambang batas maksimal hanya 215.
Berdasarkan ahli dari BPH Migas, Dedi Armansyah, pencampuran BBM olahan dengan Pertamax resmi tanpa izin dan tidak memenuhi spesifikasi pemerintah merupakan tindakan memalsukan bahan bakar.
“Merupakan kegiatan meniru atau menyerupai atau memalsukan BBM sehingga seolah-olah BBM Pertamax asli untuk selanjutnya dipasarkan di dalam negeri,” tutur Slamet mengutip keterangan ahli.
Editor: Abdul Rozak











