TANGERANG – Sinyal buruk gagalnya proyek Bus Rapid Transit (BRT) sudah di depan mata. Meski Pemkot Tangerang sudah membuat skenario baru, dengan melakukan penunjukan langsung pengadaan proyek.
Lagi-lagi, alasannya sederhana. Rendahnya nilai pengadaan yang disodorkan Pemkot, menjadi pemantik enggannya pengusaha, khususnya perusahaan otobus untuk mengambil proyek senilai Rp13 miliar tersebut.
Kabid Angkutan pada Dishub Kota Tangerang Ismu Hartono mengakui kondisi ini. Walaupun operator BRT sudah ditunjuk langsung, tidak lantas perusahaan tersebut mau bekerjasama dengan Pemkot. ”BRT adalah bisnis menjanjikan. Prospeknya bagus. Tapi kacamata perusahaan soal potensi BRT tidak sama dengan kita. Ini yang menjadi persoalan,” ujar Ismu, Kamis (14/4/2016) seperti dilansir Harian Radar Banten.
Buktinya, sambung Ismu, mayoritas perusahaan tidak berani menawar saat lelang dilakukan. ”Walaupun sekarang aturannya sudah bisa penunjukan langsung tidak lantas menjamin proyek ini sukses,” terangnya.
Untuk tetap memuluskan proyek ini, Dishub punya strategi lain. Caranya dengan membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) khusus mengurusi transportasi massal ini. ”Kita juga harus siapkan opsi-opsi lain selain pembentukan BUMD bila terjadi kegagalan dalam penunjukan langsung. Ini yang kita bicarakan sekarang,” ujarnya.
Ditambahkan, pasca kegagalan lelang dua kali, Dishub tak bosan melakukan komunikasi dengan perusahaan yang mendaftar. Termasuk menanyakan kenapa enggan menyodorkan penawaran. ”Ya wajarlah, untuk proyek operator saja nilainya cuma Rp3,8 miliar, jelas terlalu rendah,” kata dia.
Dengan angka sebesar itu, perusahaan harus menyediakan segala fasilitas kebutuhan BRT. Dari menggaji pegawai, perawatan bus, dan lain sebagainya. ”Kita tidak mungkin menaikkan Rp3,8 miliar karena angkanya sudah harga pasaran. Kalau di-upgrade takut melanggar aturan,” katanya.
Menanggapi langkah-langkah yang dilakukan Pemkot, Koordinator Lembaga Analisa Kajian Daerah Terpadu (LAKDT) Yunus Albarjanji menilai, dari awal proyek BRT ini terlalu dipaksakan. Mulai dari sosialisasi hingga kebutuhan akan transportasi massal. ”Pemkot dalam membuat kajian analisis tentang BRT tidak memperhatikan aspek kebutuhan. Seharusnya, dalam kajiannya pun disertakan keberadaan sopir angkot, yang terancam kehilangan penghasilan kalau BRT ini jadi beroperasi. Ini yang tidak dibicarakan,” katanya.
Ketika lelang gagal dua kali, Yunus melihat proyek ini memang belum siap dijalankan. Publik akan menilai, kalau Pemkot hanya melihat proyek kelihatan besar namun minim perencanaan. Sekarang akan ada penunjukan langsung, yang tentunya belum menjamin keberhasilan. ”Kalau perusahaan yang ditunjuk mau mengerjakan. Bila tidak kan bahaya. Kalaupun mau, apakah perusahaan tersebut benar-benar profesional. Jangan nanti malah berhenti di tengah jalan,” tandasnya. (Firdaus/Radar Banten)