SERANG- Barongsai biasanya menjadi salah satu pertunjukkan menarik setiap tahun baru Imlek. Di Kota Serang, pertunjukkan barongsai makin sulit ditemukan. Di Vihara Avalokhitesvara, misalnya, saat Imlek tidak terlihat atraksi barongsai, seperti pada umumnya perayaan Imlek di tempat lain.
“Barongsai sudah tidak dimainkan di sini, kecuali oleh beberapa anak muda. Itu pun dengan gerakan yang kurang terlatih dan amatir. Terakhir kali saya main barongsai di posisi kepala pada tahun 1972,” ungkap Asaji, Humas Vihara Avalokitesvara, di Desa Pamarican, Kasemen, Banten kepada wartawan, Jumat (31/1/2013).
Asaji
mengenang ketika ia pernah menjadi pemain barongsai dengan begitu tangkasnya. Sisa kebanggan sebagai mantan pemain barongsai masih tampak di wajah Asaji. “Kalau tambur sudah dipukul, kita semakin terbakar semangat. Lompat pada tonggak-tonggak tidak ada takut,” terang lelaki yang pernah punya grup barongsai Chin Lung alias Naga Mas ini.
Generasi muda, tidak hanya pada seni tradisi lokal, pada barongsai pun mereka tidak begitu antusias. “Generasi muda, terutama di Serang saya lihat kurang antusias memainkan barongsai. Jadi tidak terwariskan. Kalau pun etnis Tionghoa belum tentu bisa main barongsai,” paparnya.
Barongsai sendiri, menurut Asaji, merupakan makhluk suci yang sering digunakan dalam upacara keagamaan, sama halnya seperti naga. “Barongsai itu binatang suci untuk
tolak bala,” katanya.
Barongsai yang dimainkan anak muda sekarang, lanjut Asaji, hanya sebagai pelengkap. Padahal, katanya, barongsai merupakan perpaduan antara seni bela diri (kung fu) dengan seni pertunjukan atraksi.
“Saya lihat cuma loncat-loncat biasa, selebihnya mengharapkan ampao. Mereka malas berlatih untuk serius,” paparnya.
Asaji sendiri kini sudah menginjak usia 66 tahun. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengembangkan seni barongsai di Kota Serang. Selain sibuk mengurus Vihara Avalokitesvara sebagai Humas, tubuhnya sudah tidak segesit dan sekekar dulu. (Wahyudin)