JAKARTA – Angka persentase syarat dukungan antara bakal calon kepala daerah dari jalur perseorangan dengan bakal calon yang diusung partai politik, dinilai tidak adil. Pasalnya, basis penghitungan yang digunakan tidak sama.
Di satu sisi, bakal calon perseorangan kata Pengamat Politik dari Centre for Strategic of International Studies (CSIS) Arya Fernandes, diharuskan mengumpulkan dukungan berdasarkan presentase daftar pemilih tetap (DPT), sementara untuk calon dari parpol, berdasarkan 20 persen perolehan kursi atau 25 persen total suara sah.
“Jadi di satu sisi berdasarkan total suara sah, sementara di sisi lain berdasarkan daftar pemilih. Dari situ saja sudah tidak adil,” ujar Arya, Jumat (18/3).
Arya mengambil contoh untuk pilkada DKI Jakarta. Pada Pemilu 2014 lalu DPT mencapai tujuh juta jiwa. Sementara suara sah hasil pemilu untuk DKI Jakarta hanya 4,5 juta. Dengan fakta tersebut, maka pasangan calon independen paling tidak mengumpulkan 7,5 persen dari tujuh juta, maka minimal 530 ribu dukungan.
Itu kalau syaratnya masih menggunakan angka 7,5 persen. Sementara kalau berdasarkan usulan anggota DPR ditingkatkan menjadi 20 persen, maka minimal harus mencapai 1,5 juta dukungan. Sementara dukungan dari parpol, hanya memerlukan 25 persen dari total 4,5 juta jiwa. Artinya hanya 1,125 juta.
“Coba dilihat data. Perolehan suara partai-partai seperti NasDem, Golkar dan seterusnya, itu justru lebih kecil dari persyaratan dukungan perseorangan. selain itu, hasil dari perolehan suara partai yang jadi syarat 25 persen juga merupakan kerja banyak calon legislatif,” ujar Arya.
Karena itu Arya menyarankan dalam revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, pemerintah dan DPR perlu memperhatikan hal ini.
“Jadi regulasinya harus adil, revisi nanti harus didorong persentase 25 persen itu harus berdasarkan jumlah pemilih. Ini lebih adil,” ujar Arya. (jpnn/RBOnline)