Saya tiba di Ningbo. Tadi malam. Langsung ingat Sinar Mas.
Juga ingat pola pemberantasan korupsi. Untuk kalangan pengusaha di Tiongkok.
Ningbo hanya kabupaten. Di propinsi Zhijiang. Tapi jumlah gedung pencakar langitnya mengalahkan Jakarta.
Sejak 35 tahun lalu sudah ada perusahaan Indonesia yang berkibar di sini: Sinar Mas. Milik konglomerat Eka Tjipta Wijaya.
Saya masih ingat saat pertama ke Ningbo. Logo Sinar Mas terpampang di pusat kota. Juga logo Bank Internasional Indonesia (BII). Yang satu grup dengan Sinar Mas. Saat itu.
Kehadiran logo Sinar Mas itu menonjol. Waktu itu. Ningbo masih terbelakang. Gedung-gedung sekitar Sinar Mas masih lusuh. Kampung-kampung besar sekitarnya masih kumuh.
Kini tidak lagi terlihat logo itu. Bahkan bangunan-bangunan di kawasan itu sudah tidak sama lagi. Sudah berubah jadi hutan gedung bertingkat tinggi.
Bendera Sinar Mas tidak hilang dari Tiongkok. Hanya pindah. Bahkan ke lokasi yang lebih bergengsi.
Pula, berkibar lebih tinggi: di pusat kota Shanghai. Berupa gedung pencakar langit. Dengan puncaknya berwarna emas. Satu blok penuh. Tidak begitu jauh dari gedung pencakar langit milik grup Lippo.
Nama Ningbo sendiri belakangan lebih populer karena Anbang. Perusahaan milik anak muda. Bidang asuransi. Top. Namanya: Wu Xiaohui. Naik turunnya seperti roller coaster.
Saat saya di New York dua tahun lalu mata saya terbelalak. Lihat halaman depan harian The New York Times. Wu Xiaohui membeli hotel di New York.
Bukan sembarang hotel: Waldorf Astoria. Salah satu ikonnya kota New York. Dan karena itu jadi berita besar. Sekitar Rp 30 triliun.
Nama Wu Xiaohui terus berkibar di AS. Beli macam-macam hotel. Termasuk Westin di San Fransisco. Beli pula perusahaan asuransi. Bahkan juga di Jerman.
Yang tak kalah heboh adalah saat Wu Xiaohui terlihat mulai nego serius dengan menantu Donald Trump: Jared Kushner. Untuk membeli pencakar langit di aorta kota New York: Fifth Evenue. Milik Jared.
Bersamaan pula dengan waktu kampanye pilpres. Berita nego ini jadi menarik. Tidak habis-habisnya. Hebat banget pemuda dari Ningbo ini.
Nego itu tidak berlanjut.
Tahun lalu roller coaster itu ambruk. Berantakan. Wu Xiaohui ditangkap.
Dua tahun lalu itu, saat Wu Xiaohui berkibar di Amerika dan Eropa itu, di Tiongkok lagi terjadi bencana. Pasar modalnya ambruk. Harga saham terjun bebas. Jutaan orang menderita.
Bahkan ada yang mengira: inilah momentum ambruknya Tiongkok. Berkali-kali Tiongkok diramalkan akan ambruk. Karena bubble. Dan beratnya persoalan hutang macet di bank pemerintah.
Berkali-kali pula ramalan itu meleset. Kali ini mungkin tidak meleset lagi. Kata pengamat itu.
Pemerintah pun marah besar. Cari biang keroknya: para penggoreng saham. Pemerintah sangat marah. Mereka dianggap merusak ekonomi negara.
Wu Xiaohui jadi incaran.
Anbang memang pernah mengeruk uang. Dari pasar modal. Sampai sekitar Rp 100 triliun.
Yang menarik adalah: di Tiongkok ada dua pola penanganan. Untuk mengatasi konglomerat ‘cerdik’nya. Yang kooperatif dibedakan dengan yang tidak kooperatif.
Wu Xiaohui termasuk contoh kelompok pertama. Tidak kooperatif.
Dia ditangkap. Akan segera diadili. Bulan-bulan ini. Bisa-bisa kena hukuman mati. Setidaknya seumur hidup.
Wu Xiaohui juga dianggap mengeruk uang dari nasabah. Dengan iming-iming imbalan tinggi. Melebihi batas. Padahal Anbang punya 25 juta nasabah. Yang kini harus diselamatkan.
Kepada otoritas keuangan Wu Xiaohui juga tidak terbuka: dari mana asal-usul uang triliunan itu. Khususnya yang untuk membeli perusahaan di Amerika dan Eropa itu.
Bahkan Wu Xiaohui dianggap merusak pejabat tinggi negara. Dengan membawa-bawa nama cucu Deng Xiaping. Sebagai orang dalam Anbang.
Wu Xiaohui. Ningbo. Tidak bisa diselamatkan lagi.
Bahkan kini beredar rumor: siapa lagi konglomerat yang akan ‘’di-Anbang-kan’’ berikutnya? Maka dua konglomerat lainnya berikut ini ambil sikap berbeda.(Bersambung)