Oleh Prof Dr KH Fauzul Iman MA, Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Bulan Ramadan sebagai bulan suci, kehadirannya tidak dapat disangsikan telah mendapat sambutan yang begitu semarak oleh kaum muslimin baik dalam level nasional maupun level dunia.
Khusus di negeri kita hampir semua komunitas muslim menyambutnya dengan tingkat mobilitas kegiatan keagaman yang amat berbeda dengan bulan bulan biasa. Utamanya menyangkut antusiasme aktifitas keagamaan yang dilakukan, tampak ke permukaan menonjol. Tidak saja dalam kegiatan-kegiatan yang sekalanya terbatas pada space sosial tertentu tetapi juga kerap pada kegiatan keagamaan yang melampaui batas lintas kultur.
Dalam space tertentu sebut saja, misalnya, yang paling normatif adalah salat jamaah tarawih bersama, kontemplasi ibadah melalui tahajud, i’tikaf, kultum, buka bersama, bazar amal, dan diskusi-diskusi keagamaan. Sementara yang sifatnya paling kongkret adalah gerakan pengumpulan zakat, infak dan sedekah baik oleh lembaga resmi maupun oleh lembaga sosial yang didirikan di masjid-masjid. Bahkan dalam bulan Ramadan ini, tidak jarang diadakan pula kegiatan yang bersifat dialog keagamaan dengan melibatkan pemeluk agama non-muslim untuk diajak bersama memecahkan problem sosial keagamaan.
Pada batas yang paling formal antusiasme keagamaan di atas, amat baik setidaknya umat Islam secara simbolik telah meletakkan keagungan Ramadan sebagai syiar. Artinya umat Islam mampu mendeklarasikan Ramadan di tengah-tengah umat dengan eneka kegiatan dan dengan pesertanya dalam jumlah massif. Tegasnya Ramadan berhasil digerakkan umat menjadi media kolektif (bersama) dalam memperoleh inspirasi (pelajaran) agama, menggagas dan memecahkan persoalan pendidikan dan pembiasaan-pembiasaan disiplin. Termasuk dalam hal penggalangan solidaritas sosial islamiyah. Firman Allah SWT, “Demikianlah (perintah Allah) dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka itu sesungguhnya timbul dari ketakwaan hati.” ( Q.S. 22 : 32).
Dari segi kemampuannya menggalang kegiatan umat secara massif, dalam diskursus sosiologi agama, Ramadan dapat menjadi penggerak emansipatoris di tengah-tengah monumentalitas umat. Emansipatoris, sebagaimana menurut James Hastings, dalam bukunya Encyclopedia of Religion and Ethic artinya suatu pembebasan dari hidup pembekuan intelektual (kebodohan), kemiskinan, pemihakan individu, kekuasaan, dan golongan. Dengan kata lain emansipatoris adalah gerakan bersama membebaskan kezaliman (penindasan), sifat individualism, dan aroganisme dalam upaya mewujudkan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Kita cermati bagaimana Ramadan menjadi lokomatif kegiatan rohaniah. Dengan tarawih bersama, secara psilologis umat didorong dapat melakukan temu sosial dan silaturahmi dalam batas dan lingkup kohesifitas masyarakat. Dengan kultum, umat sekali waktu diketuk dan disentuh batinnya dengan pesan pesan agama mengenai disiplin hidup, tentang persatuan, perdamaian, pencerahan dan perubahan hidup. Dengan diskusi umat diajak berpikir memperoleh wawasan rasional dan kreatif untuk memecahkan persoalan aktual kehidupan. Dengan menghimpun zakat, infak dan sedekah umat didorong bersatu padu menggalakkan kepekaan sosial dalam membantu kaum lemah (duafa) tanpa melihat latar belakang sosial dan kebudayaan. Pokoknya dengan mobilitas Ramadan, momentum kegiatan keagamaannya sangat praksis dalam menggerakkan dan menggiring umat di atas kesatuan rohaniah, persamaan derajat kedudukan, dan hak hak bersama membebaskan penindasan (pembodohan dan pemiskinan).
Inilah pentingnya kita lestarikan Ramadan dalam nuansa emansipatoris. Pertanyaanya seberapa jauh nuansa ini dapat berjalan konsisten di tengah-tengah kehidupan umat. Amat disayangkan pembinaan Ramadan yang begitu survive di masanya kini mati dan membeku kembali dalam sisa dan puing-puing realitas kehidupan umat terutama setelah masa Ramadan berhenti. Nuansa pembiasaan menggalang hidup bersama yang dahulu sangat kolektif egaliter kini menyempit bersifat ad hoc dan rontok setelah umat memburu kepentingan sesaat. Hidup saling menghujat, mengadu domba, dan mencela. (*)