“Kalau hidup cuma untuk mendengarkan omongan orang, justru itu yang bakal bikin kita hancur. Saya sih punya prinsip sendiri,” ujar Paung (46), nama samaran, kepada Radar Banten.
Meski banyak orang bilang, Paung tipe suami yang takut istri, ia tak peduli. Sadar akan beratnya menjalani bahtera rumah tangga, ucapan miring tentangnya dianggap tak bermakna, Paung fokus mencari nafkah untuk sang istri, sebut saja Yuli (44) dan keluarga.
Hingga suatu hari, peristiwa menyedihkan itu terjadi. Tepat di usia Paung ke 36 tahun dan Yuli 35 tahun, rumah tangga mereka kandas di tengah jalan. Apa mau dikata, berusaha mempertahankan harkat dan martabat sebagai lelaki, Paung pun pergi meninggalkan istri.
Paung mengaku, sang istri termasuk wanita yang memiliki temperamen tinggi. Tak bisa berbuat salah sedikit, bahkan sampai menyakiti hati, Yuli pasti langsung emosi. Meski sudah dinasihati untuk belajar sabar dan tak gampang marah, tetapi mungkin sudah bawaan sejak lahir, Yuli tak pernah bisa bersikap seperti apa yang diinginkan sang suami.
“Susah, Kang. Apa-apa ditanggapi dengan marah dan emosi. Wah, pusing saya,” curhatnya.
Seperti diceritakan Paung, kisah cintanya bersama Yuli berawal ketika keduanya sama-sama sedang mencari pendamping hidup. Yuli termasuk wanita beruntung lantaran terlahir dari keluarga berada, tak seperti Paung yang hanya anak petani biasa.
Yuli anak ketiga dari empat bersaudara. Lantaran usia menginjak dewasa, terlebih kedua kakaknya sudah menikah dan adiknya pun tumbuh remaja, ia diminta segera menikah. Namun, mungkin belum berjodoh, beberapa lelaki yang sempat mengisi hati bahkan sampai datang ke rumah, tak pernah jadi menikahinya. Waduh, kasihan amat.
Katanya, hampir semua calon Yuli menyerah pada tahap akhir lantaran tak mampu menyanggupi keinginan mahar yang diajukan. Yuli yang memang dianugerahi wajah cantik dengan kulit putihnya, terkesan selektif dalam memilih suami. Tak hanya tampan dan baik, tapi juga unggul dalam urusan materi.
Mungkin lelah mencari hal yang tak pasti, pihak keluarga tak lagi memasang harga yang besar untuk mendapatkan sang putri. Beruntungnya, Paung datang di saat yang tepat. Tidak dibebankan persyaratan materi yang mumpuni, ia yang memang tidak memiliki modal besar, diperkenankan meminang Yuli.
Hebatnya, seolah ditakdirkan Tuhan untuk segera menuju jenjang pernikahan, Yuli pun tampak pasrah dan menerima Paung apa adanya. Tak menunggu waktu lama, kedua keluarga pun sepakat melangsungkan pernikahan. Mengikat janji sehidup semati, Paung dan Yuli resmi menjadi sepasang suami istri. Widih, untung dong, Kang?
“Ya alhamdulillah, dia memang cantik dan sedari kecil dapat didikan yang baik, jadi wajar saja kalau kemarin-kemarin selektif memilih suami,” akunya.
Di awal pernikahan, Paung dan Yuli saling menjaga perasaan. Bersikap sopan dan terkadang masih diam-diam di depan orangtua, keduanya malu-malu tapi mau. Sampai berjalan setahun usia pernikahan, mereka pun dianugerahi anak pertama, membuat hubungan tak lagi canggung dan semakin mesra.
Paung yang masih belum mendapat pekerjaan pasti, memutuskan tinggal di rumah keluarga istri. Memanfaatkan ilmu agama yang dipupuk sedari kecil, ia mengajar mengaji anak-anak kampung. Meski awalya mendapat simpati, tapi lambat laun, tekanan ekonomi tak bisa dibohongi.
Saat itu, keluarlah sikap asli sang istri. Sering menuntut suami dengan menunjukkan emosi, Paung sempat terpancing amarah. Keributan pun tak dapat dihindari. Meski keluarga dan saudara menganggap hal biasa, tetapi bukan berarti didiamkan begitu saja.
Paung yang tampak belum bisa mengontrol diri, sempat tak berkomunikasi dengan semua orang rumah. Parahnya, seolah tak memiliki tempat untuk menenangkan diri, tekanan pun datang dari tetangga yang banyak menggunjingkan rumah tangganya. Aih, itu kok tetangga ikut-ikutan sih, Kang?
“Ya begitulah. Sampai terdengar telinga sendiri, mereka bilang saya suami yang menumpang di rumah mertua,” ungkapnya.
Hingga suatu hari, Paung merasa semakin tak memiliki daya dan upaya di rumah mertua. Ia yang biasa tidur dengan Yuli, memilih menghabiskan malam di ruang belakang yang dijadikan ruang khusus salat. Sampai di sepertiga malam, ketika istri dan mertua terlelap, diam-diam Paung menyelinap pergi membawa pakaian dan sejumlah barang pribadi.
Seminggu, dua minggu berlalu, keadaan di rumah Yuli tampak biasa. Seolah kepergian Paung tak menjadi masalah. Meski waktu itu Yuli sempat datang dan menemui sang suami di rumahnya, entah apa yang dibicarakan, Paung sendiri enggan menceritakan. Setelah kejadian itu, mereka bagai dua orang yang tak saling mengenal.
Hingga sebulan kemudian, tak ada angin tak ada badai, tetangga dan orang-orang terdekat tampak terkejut dengan apa yang terjadi dengan rumah tangga Paung dan Yuli. Mereka yang begitu mengenal dekat keduanya, menebarkan banyak pertanyaan terkait hubungan rumah tangga. Soalnya, Paung terlihat santai menggandeng wanita lain. Aih, siapa itu, Kang?
“Hehe, waktu itu saya menikah lagi, Kang. Daripada pusing mikirin istri yang banyak nuntut, mending cari yang mengerti keadaan saya,” ungkap Paung, Aih-aih, parah amat.
Keadaan semakin membingungkan dengan sikap Yuli yang tak bereaksi. Seolah memang tak peduli, ia santai-santai saja melihat Paung banyak dibicarakan orang karena sudah punya istri. Tiga bulan kemudian, mungkin resah dengan keadaan, akhirnya RT setempat pun turun tangan.
Mempertemukan Paung dan Yuli, musyawarah dilaksanakan. Berdasarkan kesepakatan, keduanya resmi bercerai. Saat ini, Paung dan Yuli sama-sama hidup bahagia dengan pasangannya.
Oalah, ya sudah deh. Yang penting antara Kang Paung dan Teh Yuli jangan sampai putus silaturahmi. Semoga langgeng dengan pasangan masing-masing! (daru-zetizen/zee/ira)