SERANG – Pengurus Serikat Petani Indonesia (SPI) Provinsi Banten menilai Pemprov Banten tidak serius mengurus persoalan pertanian. Hal itu terbukti gagalnya reforma agraria di Banten sehingga konflik agraria yang merugikan petani tidak pernah terselesaikan.
Hal itu diungkapkan Sekretaris DPW SPI Banten Misrudin saat diskusi refleksi Hari Tani Nasional (HTN) 2019 di Plaza Aspirasi, Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), Curug, Kota Serang, Senin (23/9).
Menurut Misrudin, sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 86 tahun 2018 yang mengatur pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) seharusnya konflik agraria diselesaikan GTRA melalui redistribusi tanah objek reforma agraria (Tora) kepada petani dan rakyat tak bertanah di Banten.
“Banten sudah membentuk GTRA yang diketuai Gubernur Banten. Tapi GTRA Banten tidak serius menyelesaikan konflik agraria melalui skema Tora, melainkan kepada Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan sertifikasi tanah nonkonflik,” katanya.
Ia melanjutkan, pemerintah selama lima tahun ini telah menempatkan reforma agraria sebagai program prioritas. Bahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 pemerintah berjanji menjalankan reforma agraria seluas 9 juta hektare dengan rincian 4,5 juta hektare untuk legalisasi aset dan sertifikasi tanah, 4,1 juta hektare untuk pelepasan kawasan hutan dan hanya 0,4 juta hektare untuk redistribusi tanah yang berasal dari HGU (Hak Guna Usaha) habis, tanah terlantar, dan tanah negara lainnya.
“Namun mandat ini tidak berjalan mulus. Pada 24 September 2018 Presiden Jokowi mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres RA),” tegasnya.
Perpres RA, lanjut Misrudin, telah mengatur pembentukan GTRA di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten kota untuk mempercepat reforma agraria. “Namun di Banten, Pemprov tidak sungguh-sungguh mendorong GTRA di kabupaten kota, akibatnya konflik-konflik agraria belum tersentuh sedikit pun,” tambah Misrudin.
Ia menyebut, konflik agraria yang mangkrak hingga saat ini terjadi antara petani di Kecamatan Cigemblong, Kabupaten Lebak, dengan PT Pertiwi Lestari. Kemudian petani di Kecamatan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang dengan Perum Perhutani. Lalu petani di Kecamatan Binuang, Kabupaten Serang, dengan TNI AU. “Kami mendesak Pemprov Banten segera menyelesaikan konflik agraria melalui redistribusi Tora kepada petani dan rakyat tak bertanah di seluruh wilayah provinsi Banten,” tegasnya.
HTN 2019, tambah Misrudin, harus menjadi momentum bagi Pemprov Banten menyelesaikan konflik agraria. “Tapi karena Pemprov tidak serius, makanya besok (hari ini-red) kami bersama ratusan petani dan mahasiswa turun ke jalan menuntut Gubernur Banten menjalankan amanah UU reforma agraria,” tegasnya.
Di tempat yang sama, Ketua Divisi Advokasi SPI Banten, Ani Aviani menambahkan, selain tidak serius menyelesaikan konflik agraria, Pemprov Banten juga tidak serius mencegah penyusutan lahan pertanian produktif. Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari enam ribu hektare lahan pertanian beralih fungsi menjadi perumahan dan kawasan industri. “Hasil kajian SPI sejak 2017, lahan pertanian di Banten menyusut 20 hektare tiap bulan. Ini harus segera dihentikan,” katanya.
Ani melanjutkan, penyusutan lahan pertanian tidak hanya berdampak pada jumlah produksi pangan namun, juga menjadi salah satu faktor pemicu meningkatnya angka kemiskinan di Banten. “Bila penyusutan terus terjadi Banten bakal darurat pangan 2025,” jelasnya.
Ani berharap, Pemprov segera menekan alih fungsi lahan pertanian secara besar-besaran melalui penerapan menyeluruh Perda 5/2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. “Kami minta Gubernur menginstruksikan bupati walikota mengoperasionalkan perda tersebut ke dalam perda sejenis di tingkat kabupaten kota,” pintanya. (den/alt/ags)