SERANG – Dampak wabah virus corona atau Covid-19 yang melanda Indonesia termasuk Banten membuat angka kemiskinan diprediksi naik. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten kemarin, inflasi masih terjadi 0,16 persen serta nilai ekspor yang turun hingga 25 persen. Dengan begitu, angka kemiskinan diperkirakan akan meningkat sekira 2,5 persen.
Kepala BPS Provinsi Banten, Adhi Wiriana mengatakan, asumsinya ada pelemahan daya beli masyarakat. “Artinya mungkin ada dampak juga dari rencana pemotongan tukin (tunjangan kinerja-red) ASN Pemprov Banten, termasuk (pegawai swasta-red) yang PHK, yang dirumahkan,” ujar Adhi di ruang kerjanya, Rabu (1/7).
Bahkan, lanjut Adhi, berdasarkan informasi yang didapat dari beberapa hotel, mereka yang dirumahkan justru gajinya turun, bahkan tidak dibayar. “Begitu dia masuk kantor baru dibayar, dan itu menandakan bahwa memang ada pelemahan daya beli masyarakat,” ungkapnya.
Sehingga, apabila daya beli masyarakat turun maka otomatis akan berdampak ke dunia usaha. Pengangguran dan kemiskinan bisa meningkat apabila pendapatannya turun. Sedangkan untuk data ekspor turun hingga 25 persen dibandingkan tahun lalu. Hal serupa dialami impor yang juga mengalami penurunan lebih jauh di angka 45 persen.
Kata dia, hal itu menandakan bahwa perekonomian Banten memang terdampak. “Walapun kami belum bisa rilis berapa pertumbuhan ekonomi terakhir karena baru di bulan Agustus dan triwulan II dirilis, termasuk juga dengan angka kemiskinan Maret,” terangnya.
Ia mengatakan, di Maret lalu baru dilakukan survei dan saat ini baru diolah dan Agustus nanti baru akan dirilis. “Sehingga kalau bicara angka ya kita bisa memprediksi walapun harus hati-hati. Karena angka kemiskinan dan pengangguran itu angka sifatnya politis,” ujar Adhi.
Pada September 2019 lalu, angka kemiskinan di Banten 4,94 persen atau 641,42 ribu orang. Angka kemiskinan pasca Covid-19 diprediksi akan meningkat sekira 2,5 persen. Namun, hal itu terjadi tidak hanya di Banten tapi juga nasional. “Dan itu bisa terjadi gejolak termasuk di bursa saham, termasuk nilai tukar rupiah dan sebagainya,” terang Adhi.
Meskipun begitu, ia mengaku harus ada yang diwaspadai yakni fake kemiskinan atau kemiskinan palsu. Yakni, penduduk yang sebenarnya tidak miskin tetapi takut miskin dan justru meminta bantuan ke berbagai lembaga. Hal itu juga terlihat dari survei yang dilakukan petugas saat Maret lalu.
Kata dia, garis kemiskinan saat ini yaitu hampir Rp3 juta per rumah tangga atau Rp500 ribu per kepala. Namun, ke depan dimungkinkan garis kemiskinan naik lantaran sejumlah harga bahan pokok naik. Akibatnya, warga yang hampir miskin jatuh miskin atau pura-pura miskin.
Untuk mengetahui, apakah masyarakat itu benar-benar miskin atau fake, harus dilakukan survei mendalam atau indept study. “Karena indept study itu menilai dari konsumsi sehari-hari dia seperti apa, mungkin ngakunya cuma sekian pendapatan sekian di indept study akan kelihatan,” terangnya.
Tak hanya kemiskinan, angka pengangguran di Banten yang sudah cukup besar dan tertinggi se-Indonesia di angka 8,01 persen atau 489.216 orang, kemungkinan akan menembus dua digit sekira 10 persenan karena banyak perusahaan tutup serta karyawan yang terkena PHK.
Di sektor pariwisata, ia mengaku belum bisa berharap banyak karena data hunian kamar di Banten saat ini hanya 20 persen. Bahkan, banyak sektor lain yang terdampak seperti industri, misalnya alas kaki. Bahkan di sektor perikanan dan pertanian juga mengalami penurunan. “Di bidang pertanian, harga beras turun, jadi panik. Petani harus beli yang lain lebih mahal tapi harga jual beras enggak mahal. Di sisi lain petani juga dimainin sama tengkulak. Alasan tengkulak PSBB, kemudian ongkos mahal, sehingga harga ke petani dia tekan serendah-rendahnya dan jual mahal,” terang Adhi.
Solusinya, kata Adhi, harus ada pemulihan ekonomi secara cepat di triwulan III. Pemulihan ekonomi itu bisa berbagai faktor.
Sementara, bantuan sosial berupa jaring pengaman sosial itupun cukup membantu mengurai kemiskinan sekedarnya agar tidak semakin dalam.
Terpisah, Plt Sekretaris Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Banten, Budi Darma mengatakan, sudah hampir dipastikan angka kemiskinan akan meningkat, baik secara regional maupun nasional. “Dampak sosial ekonomi wabah ini luar biasa, tidak saja sektor informal bahkan pekerja sektor formal pun terpengaruh dengan gelombang PHK besar-besaran akibat menurunnya kinerja sektor industri sebagai dampak wabah Covid-19,” ujarnya.
Budi memprediksi, angka kemiskinan yang meningkat adalah angka pada desil tiga dan empat yaitu angka Rumah Tangga Miskin dan Rentan. Perlu diketahui bahwa perspektif angka kemiskinan antara Dinsos dengan BPS sedikit berbeda, karena BPS berkepentingan hanya untuk memotret kondisi kemiskinan secara statistik. Sebaliknya, Dinsos maupun Kementerian Sosial melihat data kemiskinan dari perspektif beneficierry atau pemerlu pelayanan sosial. Terkait kemungkinan adanya fake kemiskinan, ia mengatakan, di awal fase pendataan BPS pasti akan banyak yang seperti itu. Namun hal itu bisa diantisipasi oleh amanat UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, yang mengharuskan pemkab/pemkot melalui perangkat desa/kelurahan melaksanakan musyawarah desa/kelurahan untuk menentukan kelayakan maupun eligibilitas warga miskin. “Tinggal bagaimana membangun kesadaran kolektif pemerintah kabupaten dan kota untuk mendorong desa dan kelurahan melaksanakan musyawarah desa/kelurahan dalam rangka update data terpadu kesejahteraan sosial,” terang Budi.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Banten, Al Hamidi mengatakan, selama pandemi Covid-19, sudah ada 18.597 pegawai yang di PHK, sedangkan yang dirumahkan hampir 29 ribu orang. Dengan begitu, angka pengangguran di Banten saat ini mencapai 490 ribu. “Setiap hari, ada angka pengangguran bertambah, tapi ada juga yang berkurang karena ada perekrutan,” terangnya. (nna/air)