Kasus Pengelolaan Parkir Pasar Kranggot: Suap Melibatkan Oknum Aparat

SERANG – Kasus dugaan suap pengelolaan parkir di Pasar Kranggot, Kota Cilegon tahun 2020 ternyata melibatkan oknum aparat. Oknum tersebut menjadi perantara awal antara Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Kota Cilegon nonaktif Uteng Dedi Apendi dengan Komisaris PT Hartanto Arafah Perkasa (HAP), Hartanto.

Hal tersebut diungkapkan Hartanto sendiri saat menjadi saksi terhadap Uteng di Pengadilan Tipikor Serang, Rabu (17/11).

“Kenal dari Kolonel Deni (mengenal Uteng-red), dia partner (kelola parkir-red), TNI aktif (Kolonel Deni-red),” ungkap Hartanto.

Namun Hartanto tidak menjelaskan mengenai tempat tinggal dan lokasi kantor perwira TNI tersebut. Tetapi, ia mengakui sebelum berkomunikasi dengan Uteng terlebih dahulu berkomunikasi dengan Deni. Ketika itu, Deni memberikan informasi mengenai lahan perparkiran yang disewakan di Pasar Kranggot, Kota Cilegon.

“Kabar dari Pak Deni, katanya adanya parkiran yang disewakan di Pasar Kranggot,” ungkap Hartanto.

Jika tertarik mengelola parkir tersebut, Hartanto diarahkan untuk berkomunikasi dengan Feriana orang yang biasa berada di Pasar Kranggot. “Kalau mau tinjau lokasi katanya hubungi Pak Feri, nanti dikasih tahu lokasinya,” kata Hartanto menirukan ucapan Deni di hadapan majelis hakim yang diketuai Atep Sopandi.

Penasaran dengan lokasi yang ditawarkan Deni, Hartanto mendatangi Pasar Kranggot dan bertemu Feriana. Setibanya di lokasi Hartanto meninjau area perparkiran. Kendati di lokasi cukup banyak kendaraan namun pria asal Jakarta tersebut belum langsung menyetujui untuk mengelola parkir di Pasar Kranggot. “Sebulan kemudian saya baru bisa mutusin, tadinya saya masih pikir-pikir, dihitung dulu (potensi keuntungan-red),” kata Hartanto.

Dinilai akan memberikan keuntungan, Hartanto kemudian menghubungi Deni. Ia kemudian diarahkan untuk menemui Uteng. Pertemuan pertama pun digelar di Sop Ikan di Alun-alun, Kota Serang. “Sebelum ketemu Pak Uteng, Pak Deni sempat bilang untuk coba tawar (uang pengelolaan parkir-red). Dapat kabar dari Pak Deni Rp250 juta (biaya pengelolaan parkir-red),” ujar Hartanto.

Dalam pertemuan tersebut, Uteng meminta uang Rp250 juta sebagai syarat dikeluarkannya surat pengelolaan tempat parkir atau SPTP. Jumlah uang yang diminta Uteng tersebut sudah tidak bisa ditawar lagi. “Awalnya saya ragu karena tidak ada uang sebanyak itu, tapi akhirnya sepakat, untuk lima tahun (pengelolaan parkir-red),” kata Hartanto.

Sebagai tanda jadi, Hartanto menyerahkan uang muka Rp40 juta. Uang itu ia transfer ke rekening pribadi Uteng. “Saya punya Rp40 juta, sebagai tanda keseriusan saya transfer ke rekening Pak Uteng. Saya sanggupnya mencicil,” ucap Hartanto.

Diakui Hartanto, pertempuran pertama dengan Uteng turut dihadiri Deni. Dalam pertemuan tersebut, Deni menyampaikan agar sisa uang pengelolaan parkir harus dilunasi dalam tempo tiga bulan.

“Pak Deni bilang harus tiga bulan (lunas-red) baru bisa operasional. Pak Deni bilang seperti itu, kalau tidak kontraknya enggak jadi,” kata Hartanto.

Setelah membayar uang muka, Hartanto menerima SPTP. Namun SPTP tersebut belum ia dapat gunakan untuk mengelola parkir di Pasar Kranggot karena belum dilunasi total uang yang diminta Uteng. “(Setelah transfer Rp40 juta-red) saya kirim lagi Rp20 juta lewat transfer Bank BCA,” ungkap Hartanto.

Satu bulan setelah mentransfer uang, Deni diakui Hartanto menghubunginya kembali. Ia meminta agar uang yang diminta Uteng untuk segera dilunasi. “Katanya harus segera dilunasi atau enggak dikasihkan ke orang (pengelolaan parkir-red). Akhirnya saya ajak ketemuan Pak Uteng di restoran pinggir laut (tidak tahu alamat-red),” kata Hartanto.

Saat pertempuran tersebut, Hartanto sempat meminta agar diberikan pengelolaan parkir Pasar Kranggot terlebih dahulu. Namun, Uteng tetap tidak menyetujuinya. Ia meminta agar sisa uang untuk dilunasi. “Saya suruh istri saya untuk transfer Rp50 juta, saya minta supaya bisa mengelola (parkir-red) tapi Pak Uteng bilang dilunasi dulu, saya akhirnya enggak bisa berbuat apa-apa,” kata Hartanto.

Hartanto mengatakan, sisa uang yang diminta Uteng tidak bisa ia berikan. Hal itu dikarenakan kondisi pandemi Covid-19 yang membuat usaha parkirnya tidak menghasilkan uang. “Saat itu suasana covid memang luar biasa, saya enggak ada uang. Bulan Juli, Agustus, September saya enggak dapat terusin (bayar sisa uang yang diminta Uteng-red),” kata Hartanto.

Karena tidak jadi mengelola parkir Pasar Kranggot Hartanto akhirnya hanya bisa kecewa. Kecewaannya semakin bertambah setelah Uteng belum mengembalikan uang yang telah ia berikan. “Totalnya Rp130 juta, belum dikembalikan. Saya mau minta ke Pak Deni tapi sudah enggak ketemu,” ungkap Hartanto.

Dalam persidangan tersebut, Hartanto sempat disinggung mengenai awal kedekatannya dengan Deni. Ia mengaku mengenal Deni setelah memberikan pengelolaan parkir di Menteng Square, Jakarta. “Jasanya dari Pak Deni,” ungkap Hartanto.

Hartanto mengaku belum pernah menjalin kerja sama dengan pemerintah terkait pengelolaan parkir. Selama berkecimpung di usaha perparkiran, Hartanto baru bekerja sama dengan pihak swasta. “Belum pernah (kerja sama dengan pemerintah-red),” kata Hartanto.

Diakui Hartanto kendati sudah tiga tahun lebih ia tidak paham regulasi perparkiran dengan pemerintah. Dengan latar belakang pendidikan SMA, Hartanto tidak tahu mekanisme yang benar pengelolaan parkir. Ia sepenuhnya mempercayakan alur pengelolaan perparkiran kepada Uteng.

“Tidak ada (penjelasan dari Uteng soal pengelolaan lahan milik pemerintah-red), saya percaya (dengan Uteng-ted) sebagai pejabat dia yang tahu (regulasi-red), saya enggak tahu (peruntukan uang Rp250 juta yang diminta-red),” kata Hartanto.

Hartanto mengaku tidak mengetahui konsekuensi pemberian uang kepada Uteng selaku penyelenggara negara. Bahkan ia tidak sadar bahwa pemberian uang tersebut masuk kategori korupsi. “Enggak tahu (Uteng korupsi-red),” ujar Hartanto menjawab pertanyaan kuasa hukum Uteng, Bahtiar.

Menanggapi keterangan Hartanto, Uteng mengaku keberatan mengenai lahan parkir yang disewakan. Menurut dia, lahan parkir tersebut konsepnya adalah kerja sama bukan sewa lahan. “Sewa lahan,” jawab Hartanto yang masih tetap pada keterangannya. (fam/air)