Sementara wuquf di padang Arafah adalah proses pembauran dan peleburan setiap individu di hadapan Tuhan untuk berkumpul secara berjamaah dengan lainnya. Tidak ada keistimewaan untuk setiap individu dalam wuquf berdasarkan strata sosial. Semua orang mengambil tempat yang sama, di padang Arafah. Setiap orang di Arafah diperintahkan untuk merenungi “egonya” (kediriannya) sebagai makhluk Tuhan.
Arafah menjadi tempat perjumpaan atau peleburan individu-individu yang sebelumnya terceraikan oleh kepentingan duniawi yang fana. Sebagaimana dikatakan dalam berbagai kitab, bahwa Arafah adalah juga tempat perjumpaan dan penyatuan kembali moyang manusia, Adam-Hawa, yang sempat terpisahkan sekian lama karena tergoda bujuk rayu dunia.
Para sufi mengatakan, ego dan nafsu duniawi pangkal dari nelangsa manusia. Terkadang itu juga dibalut dalam kerangka stratifikasi sosial yang membutakan, melahirkan keserakahan manusia. Dalam kerangka Marxisme sering kali konflik terjadi karena stratifikasi sosial tadi. Kaum borjuis yang enggan mengulurkan tangan pasti akan melahirkan konflik sosial yang keras. Tidakkah dalam kehidupan dikatakan bahwa satu sama lainnya saling membutuhkan. Itulah sejatinya makna manusia sebagai zoon politicon.
Ihram mengajarkan tentang cara melepaskan semua ego dan meletakkan stratifikasi sosial sebagai kemuliaan. Stratifikasi itu mesti difahami dalam konteks fungsional sebagai bagian dari mekanisme pembagian kerja. dengan demikian cita-cita altruisme dalam masyarakat dapat terwujud. Sedangkan dalam wuquf dilukiskan sebagai upaya individu untuk melebur ke dalam masyarakat. Arafah menjadi saksi bahwa ego meluruh di hadapan Tuhan.
Dengan demikian menciptakan masyarakat ideal tidak harus memilih jalan revolusi. Agama menyediakan perangkat normatif untuk proses peleburan individu ke dalam sosial. Melalui haji, setelah ego ditanggalkan melalui ihram dan wuquf berjamaah di Arafah, hendaknya melahirkan para Jemaah haji yang tercerahkan untuk membangun masyarakat yang egaliter. Stratifikasi sosial tetap berlaku, tapi harus disadari sebagai fungsi-fungsi sosial. Ulama sebagai penyuluh umat, umara yang memimpin menuju masyarakat yang diberkahi Tuhan. Fungsi itu tidak boleh menjadi aksesoris kemuliaan seseorang di hadapan lainnya. Egaliterianisme tetap meniscayakan adanya stratifikasi sosial itu, tapi kesadaran untuk turun membantu kepada yang lemah lebih diutamakan. Namun semua itu harus diikat dalam sebuah kontrak sosial yang membebaskan satu dengan lainnya. Itulah ciri dari masyarakat madinah yang pernah dibangun oleh Nabi, di Madinah. Masihkah itu utopis?
LUKMAN HAKIM
(Dosen Universitas Pamulang)