Setiap agama (misi profetik) dan peradaban senantiasa berupaya membangun struktur masyarakat ideal. Struktural ideal tersebut sebagaimana dimaksud oleh para sosiolog, seperti Karl Manheim dan Peter L. Berger, dibangun atas gagasan-gagasan utopia yang coba dibumikan dalam kerangka budaya dan peradaban yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat.
Hal yang dimaksud di atas oleh Karl Marx adalah terbitnya masyarakat tanpa kelas (sosialisme). Hanya saja masyarakat tanpa kelas a la Marxisme akan terkendala ketika masyarakat dihadapkan pada upaya mekanisme pembagian kerja dan distribusi kewenangan. Dalam kerangka yang demikian itu, untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas sudah barang tentu akan menemukan kebuntuan, atau bisa dibilang gagal.
Bagaimanapun masyarakat tanpa kelas mustahil terwujud, karena stratifikasi sosial adalah keniscayaan. Auguste Comte coba menengahi kebuntuan itu dengan altruisme. Altruisme digagas untuk membangun kepedulian dan membantu terhadap sesama dengan kerelaan hati. Altruisme meniscayakan distribusi kapital dari kelas borjuasi kepada kaum proletar tanpa harus ada perubahan sosial yang radikal (revolusi). Di sisi lain, altruisme menjadi pengisi kekosongan gap antara kelas borjuasi dan proletar dalam perspektif Marxisme.
Sementara itu, masyarakat ideal dalam kerangka Islam, disebut dengan masyarakat madinah. Kata madinah secara generik berarti sama dengan al-dîn yang berarti agama. Hanya saja al-dîn di sini dapat juga dimaknai sebagai keterikatan masyarakat dengan sebuah perjanjian spiritual dan tunduk atas aturan-aturan yang digariskan oleh ajaran-ajaran agama Islam. Madinah, sebagaimana dimaksud oleh Nurcholish Madjid, adalah masyarakat berperadaban yang disinari oleh cahaya Ilahiah. Dengan demikian masyarakat madinah dibangun berdasarkan prinsip-prinsip egaliterianisme. Dalam masyarakat madinah, stratifikasi sosial bersifat fungsional, sama sekali tidak menentukan derajat dan kehormatan seseorang di hadapan orang lain. Nabi bersabda, “kemuliaan seseorang ditentukan oleh derajat ketakwaannya.”