PANDEGLANG – Capaian program penanggulangan Tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Pandeglang hingga triwulan kedua 2025 masih jauh dari target. Dinas Kesehatan (Dinkes) Pandeglang mencatat, baru 28 persen kasus yang berhasil ditemukan dari total target tahunan.
Kondisi ini mendorong Dinkes meminta seluruh tenaga kesehatan (nakes) meningkatkan kesiapsiagaan. Kepala Dinkes Pandeglang, Eni Yati, menegaskan bahwa strategi penanganan harus disiapkan sejak dini agar tak kewalahan menjelang akhir tahun.
“Triwulan pertama yang lalu itu capaiannya 20 persen, sekarang baru 28 persen. Makanya ini kita evaluasi secara periodik, supaya tahu seberapa jauh ketertinggalan kita. Jangan sampai Desember nanti kita dikejar-kejar target,” ujarnya, Rabu, 18 Juni 2025.
Eni mengingatkan pentingnya antisipasi sedini mungkin agar beban program tidak menumpuk pada triwulan akhir. Ia mendorong para nakes mengambil inisiatif lebih cepat.
“Teman-teman harus pasang kuda-kuda dari sekarang. Supaya nanti Desember waktunya bisa lebih santai untuk persiapan program baru dan target baru,” tegasnya.
Menurut Eni, masih rendahnya temuan kasus TBC bukan semata karena kinerja petugas, tetapi juga minimnya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri, bahkan saat sudah menunjukkan gejala.
“Orang yang merasa punya TBC paru tidak mau kontak tenaga kesehatan dan tidak mau ke puskesmas untuk cek kesehatannya. Itu salah satu kendalanya,” jelasnya.
Meski begitu, Eni memastikan tidak ada penolakan atau stigma dari masyarakat terhadap penderita TBC. Namun pasien perlu aktif mencegah penularan.
“Penolakan dari masyarakat itu tidak ada. Tapi pasien harus sadar diri. Dia harus bisa menjaga agar keluarganya tidak tertular, pakai masker kalau bicara dengan orang lain,” ucapnya.
Dinkes menilai temuan saat ini hanyalah permukaan dari kasus yang sebenarnya ada. Eni menyebut TBC sebagai fenomena gunung es.
“Di triwulan kedua sampai Mei ini, dari target 5.933 kasus baru ditemukan 1.671 kasus. Jadi masih 28 persen. Harapannya Desember nanti bisa 100 persen tercapai,” katanya.
Upaya percepatan dilakukan melalui program Cek Kesehatan Gratis (CKG) dan kolaborasi lintas tenaga medis di tingkat puskesmas dan desa. CKG bukan program khusus TBC, namun bisa membantu menemukan gejala awal.
“CKG itu umum. Bisa ketahuan tanda-tanda TBC, hipertensi, dan penyakit lainnya. Salah satunya dari situ,” ujarnya.
“Petugas TBC harus koordinasi dengan dokter, perawat, bidan desa, bahkan kader. Kalau ada yang batuk-batuk harus segera dirujuk dan dicek lab-nya, apakah TBC atau bukan,” tambahnya.
Eni memastikan dukungan logistik seperti reagen dan obat-obatan TBC saat ini masih mencukupi.
“Reagen tersedia di lab, juga di gudang farmasi. Jumlah pastinya harus dicek dulu, tapi yang penting tersedia dan siap digunakan,” tegasnya.
Editor: Merwanda











