TANGSEL,RADARBANTEN.CO.ID — Dunia influencer e-commerce di Asia Tenggara lagi mengalami perubahan besar. Dalam laporan tahunan ketiganya, impact.com barengan sama Cube ngebahas soal tren terbaru yang makin ngegas: affiliate marketing.
Lewat riset berjudul “E-commerce Influencer Marketing in Southeast Asia”, mereka menunjukkan gimana kerja sama brand dan kreator kini makin fokus ke strategi afiliasi yang dianggap lebih relevan, orisinal, dan nyambung sama kebutuhan konsumen masa kini.
Informasi ini dikutip dari siaran pers resmi yang dikirim langsung oleh impact.com ke redaksi radarbanten.co.id. Dalam riset itu, mereka ngumpulin data dari lebih dari 2.400 responden, termasuk konsumen, kreator, dan pelaku industri di enam negara Asia Tenggara—yaitu Indonesia, Singapura, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina.
Salah satu temuannya: Facebook dan YouTube masih jadi raja media sosial, tapi cara orang mengonsumsi konten makin berubah. Sekarang, konten hiburan masih disukai, tapi konten edukatif juga makin diminati. Bahkan, 64 persen responden bilang mereka cari konten buat belajar hal baru, bukan cuma ketawa-tawa aja.
Uniknya lagi, makin sedikit orang yang percaya sama mega influencer (yang followers-nya jutaan). Cuma 59 persen yang bilang masih terpengaruh sama mereka—turun 7 persen dibanding tahun lalu. Sebaliknya, micro dan nano influencer mulai naik daun karena dianggap lebih autentik dan nyambung sama audiens.
Selain itu, laporan ini juga nemuin:
* Affiliate marketing makin dilirik, karena 83 persen responden bilang pernah beli barang lewat link afiliasi dari kreator.
* Produk kecantikan (62%) dan fashion (54%) jadi kategori paling sering dibeli lewat link afiliasi.
* Marketplace kayak TikTok Shop, Shopee, dan Lazada kasih komisi lumayan buat kreator (antara 4%–13%), jadi makin banyak yang semangat jualan di situ.
* Ada tren baru: KOS (Key Opinion Sellers). Ini semacam kreator yang sekaligus jadi penjual—dan mereka mulai mendominasi di TikTok, terutama di Thailand.
Managing Director APAC dari impact.com, Adam Furness, juga bilang kalau brand sekarang perlu ninggalin cara lama yang cuma ngandelin jumlah followers dan likes. Yang lebih penting justru bikin kemitraan jangka panjang dan berdampak langsung ke keputusan beli konsumen.
Laporan lengkapnya juga dilengkapi wawancara dengan para pelaku industri—dari influencer, agensi, sampai platform—buat ngasih pandangan utuh soal masa depan influencer marketing di Asia Tenggara. Buat yang penasaran, laporan full-nya bisa dicek langsung lewat link yang disediakan impact.com.
Reporter: Krisna Widi
Editor: Agung S Pambudi











