SERANG – Belum banyak referensi yang menyebutkan bahwa peradaban Banten sangat terinspirasi dari buku. Sejarawan yang menulis Kesultanan Banten hanya menyebut bahwa rempah-rempah yang menjadi komoditas penting yang banyak mempengaruhi perekonomian dan politik Kesultanan Banten.
Hal ini mencuat dalam bedah naskah buku Menjadi Banten karya Bambang Qomaruzzaman alias Bambang Q-anees yang diterbitkan Biro Humas Provinsi Banten di salah satu hotel di Kota Serang. Sebagai pembedah, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IAIN SMH Banten, Mufti Ali mengungkapkan sangat tertarik karena buku tersebut ditulis dengan sudut pandang relatif baru, dengan mengangkat pentingnya gerakan literasi di Banten.
“Buku ini mengangkat perspektif baru memahami sejarah Banten. Akurasi bukan persoalan. Walau sumber rujukan merupakan sumber sekunder, sumber primairnya masih sedikit. Tapi tujuan buku ini untuk menyampaikan inspirasi kepada pembaca itu berhasil. Peradaban Banten itu melalui buku,” jelas Mufti Ali saat memberikan tanggapan terkait isi buku.
Mufti melanjutkan, benih peradaban Banten yang ia temukan dalam catatan buku-buku penulis Eropa mengenai Banten itu perdagangan merica. “Tapi kalau ada yang mengatakan benih peradaban Banten itu buku, itu pionir dalam tesis tentang sejarah Banten,” ujarnya.
Selebihnya, Mufti menilai buku ini Menjadi Banten ini menjadi penting dalam mengangkat Banten karena berisi interpretasi tentang perisiwa sejarah di Banten. “Saya tertarik karena buku ini ditulis oleh seorang yang memiliki disiplin filsafat. Buku ini berisi interpretasi sejarawan tentang peristiwa sejarah.”
Penulis buku, Bambang Qomaruzzaman, mengakui bahwa penyusunan buku Menjadi Banten ini sangat emosional baginya. Cerita-cerita neneknya tentang sosok Syeh Nawawi al-Bantani menanamkan padanya bahwa etos hidup orang Banten sangat lekat dengan buku dan aksara.
“Saya lahir di Tanara. Saya tidak sepakat bahwa Banten itu jawara. Cerita-cerita nenek saya mebuat saya melihat sesuatu yang lain, bahwa Banten itu dekat dengan kehidupan literasi.”
Salah satu cerita yang masih diingat Bambang, misalnya pada suatuhari Nawawi sedang menuliskan kitab-kitabnya tiba-tiba lampu templok yang meneranginya mati. Nawawi pun berdoa dan tiba-tiba tangan kanannya menyala dan meneranginya menuliskan kitabnya. “Cerita-cerita mitos semacam inilah yang menjadi Banten berarti menjadi penulis seperti Nawawi,” ungkapnya. (Wahyudin)