Wihara Avalokitesvara menjadi salah satu jejak keberadaan warga Tionghoa di Banten. Selain tempat persembahyangan, wihara ini sarat simbol persemaian keberagaman budaya di tanah Kesultanan Banten.
SUPRIYONO – Serang
Harum dupa menyengat di beranda wihara yang di gerbangnya bertuliskan ‘Kwan In Pho Sat, semoga pancaran welas asih selalu menyertai hidup kita’. Tulisan itu diapit dua naga saling berhadapan.
Minggu (11/2) siang, jelang lima hari puncak Imlek yang jatuh pada Jumat (16/2), cuaca di lokasi wihara yang dominan ornamen merah kuning ini, tampak cerah. Suasana belum terlalu ramai, meski tetap ada beberapa warga Tionghoa melakukan persembahyangan di Wihara Dewi Kwan Im. Tepat di hadapan Dewi yang dipercaya sebagai translasi dari Avalokitesvara Bodhisattva itu, dipenuhi sesaji mulai bunga, buah-buahan, lilin merah, dan dupa. Sementara, di kanan kiri sosok yang dikenal sebagai Dewi Welas Asih, dikelilingi 11 ruang persembahyangan. Di antaranya, Wi Tho Sat, Kwan Kong, Cali Kun Kong, dan Thi Cang Wang.
Secara keseluruhan, ada 16 ruang persembahyangan para dewa. Lima lainnya berada di altar 12 atau bagian belakang. Akses menuju altar itu berada di bagian kiri. Berbentuk seperti lorong, tembok, akses itu penuh dengan relief kisah dalam bentuk pahatan patung. Di dinding sebelah relief, satu informasi dalam pigura cokelat. Dalam informasi itu tertulis sepenggal kisah tentang satu babak perjalanan wihara. Yakni kisah tentang meletusnya Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883.
Setelah melewati lorong relief itu, pengunjung akan sampai pada bagian tengah wihara. Di bagian ini terdapat semacam asrama atau penginapan yang di sisi pojoknya terdapat sumber mata air. Tak jarang, pengunjung yang datang membersihkan diri atau sekadar mencuci muka.
Bagian tengah ini tampak indah karena terdapat taman yang penuh dengan pepohonan rindang. Terlebih, dilengkapi gazebo cukup besar dan beberapa kursi-kursi untuk bersantai. Sementara, di bagian belakangnya tersimpan joli atau tandu yang bisa diusung pada waktu berlangsungnya perayaan tahun baru Imlek. Selain itu, di kompleks ini terdapat Sekolah Agama Buddha yang diperuntukkan bagi anak-anak.
Dari ruang tengah ini, pengunjung bisa kembali keluar lewat sisi kanan wihara. Sebelum keluar dari area wihara, pengunjung bisa menikmati perpustakaan di sayap kanan. Perpustakaan banyak berisi mantra-mantra persembahyangan seperti Dharma Pitaka, Giok Ilong dan Te Boatau Chi Thein Sen Fo Cu Cen Ching yang mengajarkan dharma untuk keselamatan dan kebaikan bagi semua manusia.
Informasi dari sumber yang dihimpun Radar Banten, wihara ini tidak bisa dilepaskan dari sosok Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal Sunan Gunung Jati. Sebab, menurut On Kim yang dikutip dari buku Etnis Cina di Banten karya Suhaedi bersama Yanwar Pribadi, Ade Fakih Kurniawan dan Dede Sunardi, wihara Avalokitesvara dibangun Ong Tien Nio, seorang keturunan Tionghoa yang merupakan istri Sunan Gunung Jati.
Sumber tersebut menyebut wihara ini berdiri sejak abad ke-16 atau tahun 1542. Awalnya, lokasi wihara berada di Desa Dermayon. Lalu, dipindahkan pada 1774 ke lokasi yang sekarang ini. “Sebagai bentuk penghormatan atas pendiri wihara ini, patung Ong Tien Nio ditempatkan tepat di depan patung Dewi Kwan Iim di tempat pemujaan,” kata Suhaedi saat dikonfirmasi Radar Banten, Senin (12/2).
Menurutnya, wihara ini tidak hanya sekadar bangunan bersejarah atau tempat ibadah. “Keberadaannya menjadi simbol masyarakat Banten masa itu mampu mewariskan keharmonisan dalam menghadapi perbedaan yang ada,” ujar staf pengajar di Universitas Sultan Maulana Hasanuddin Banten ini.
Saat di lokasi wihara, awak Radar Banten menjumpai Asaji Manggala Putra. Pria kelahiran 19 Mei 1949 ini merupakan Humas wihara sekaligus konsultan Feng Shui yang sehari-hari berada di wihara. Biasanya, ia duduk di sudut sayap kanan wihara.
Asaji saat itu sedang memberikan konsultasi kepada beberapa perempuan warga Tionghoa. Terlebih, jelang Imlek seperti itu, wihara akan lebih ramai dari hari biasanya. Baik masyarakat Tionghoa yang akan melakukan persembahyangan atau sekadar berkunjung dan berswafoto.
Saat itu tidak banyak informasi tentang seluk beluk wihara ini. Saat berbincang, Asaji lebih banyak mengurai tentang persoalan Imlek. “Bukannya tidak mau, momennya Imlek, kalau ngomongin wihara nanti enggak pas. Nanti saja 3 April saat perayaan Dewi Kwan Im,” katanya.
Namun, Asaji membenarkan jika Imlek datang wihara lebih ramai dari hari biasanya. Menurutnya, tahun Imlek tahun lalu, ada 400 lebih warga Tionghoa merayakan imlek di wihara. “Tidak mesti di wihara, tapi biasanya banyak juga yang datang,” katanya.
Di bagian lain, sejarawan Banten Mufti Ali mengatakan, wihara ini bentuk dari perhatian Kesultanan Banten kepada warga Tionghoa. Terlebih, seiring ramainya mereka datang ke Banten, banyak nonpedagang seperti rohaniawan yang ikut masuk ke Banten. “Di tengah kesibukan dagang mereka butuh media mencurahkan spiritualnya. Makanya mereka datang untuk mendakwahkan itu, atau paling tidak untuk komunitasnya,” kata Mufti.
Keberadaan wihara, lanjut Mufti, menjadi bukti bahwa Kesultanan Banten dan warga Banten pada umumnya bisa menerima perbedaan. “Ini bukti bahwa kebudayaan dan keyakinan lain bisa hidup harmonis di Banten,” katanya.
Menurutnya, bangsa dan kerajaan apa pun akan bisa menjadi besar jika menerima perbedaan dan keberagamaan budaya. “Sebuah bangsa yang besar kalau ingin maju, dia tidak hanya mengakui keberadaan bangsa lain, tapi juga harus memfasilitasi aktualisasi kulturalnya,” ujar doktor Leiden University Belanda ini. (*)