Baik, ramah, tampan, dan murah senyum, begitulah gambaran yang cocok untuk menceritakan sosok Mamet (48) nama samaran. Pengusaha di salah satu daerah di Kabupaten Tangerang ini memiliki penghasilan lumayan. Hidup bersama istri tercinta, sebut saja Neni (42) dan sang buah hati, Mamet sejahtera.
Cerita bermula dari kisah Mamet yang mungkin dianggap orang di kampungnya adalah manusia setengah dewa. Ya, layaknya orang kaya kebanyakan, setiap jalan di perkampungan, banyak warga menegur untuk mencuri perhatian. Hebatnya, Mamet orang yang pandai menjaga perasaan. Seolah menghindari sifat sombong pada warga sekitar, Mamet selalu memberi senyum indahnya.
Namun, apa mau dikata, ya namanya juga manusia. Entah karena ingin berakrab-akrab atau memang tulus ingin menjalin pertemanan, banyak orang kampung yang datang padanya. Berawal dari perkenalan hingga akhirnya terjalin persahabatan, orang-orang banyak yang meminta uang. Lah, kok begitu?
“Saya sih ya senang-senang saja kalau memang ada orang yang butuh pertolongan, ya kita bantu. Tapi anehnya, mereka minta uangnya banyakan,” tukas Neni.
Seperti diceritakan Neni, sang suami memang termasuk orang yang mudah tersentuh. Mamet terlahir dari keluarga kaya. Meski begitu, seolah tak mau termakan tipu daya hidup bergelimang harta, ia beruntung mendapat didikan baik dari sang ayah untuk tidak berleha-leha dalam bekerja.
Katanya, meski punya banyak uang, Mamet sejak muda sudah senang berjualan. Merasakan pahit dan manisnya dunia bisnis, membuat lelaki bertubuh kurus tinggi itu matang. Tak heran ketika menginjak usia dewasa, ia sudah kuat dengan bisnis yang dibangunnya.
“Katanya nih ya, dia itu waktu SD jualan kue, jualan gorengan, semua yang masak ibunya. Dia tinggal jualin saja. Padahal, dulu dia satu-satunya siswa yang punya handphone,” curhat Neni. Widih, luar biasa Kang Mamet ini.
Sikap baiknya didapat dari sang ayah. Setiap menjelang Idul Fitri, keluarganya rutin bersedekah pada anak yatim dan kaum duafa. Dari sanalah Mamet sebagai anak terstimulus untuk melakukan hal serupa. Namun lantaran sudah merasa kaya, ia hanya menamatkan pendidikan di tingkat SMA.
Lain Mamet lain pula dengan Neni. Neni wanita biasa, ia terlahir dari keluarga tak punya. Beruntungnya Neni dianugerahi wajah nan cantik. Dengan kulit putih berpadu bentuk tubuh yang seksi, ia banyak menarik perhatian para lelaki. Termasuk Mamet yang dahulu diam-diam menyimpan rasa. Wait, memang kenalnya sudah lama?
“Kita itu satu kampung, tapi dulu saya enggak tahu dia. Dia sih tahu saya, maklumlah, namanya juga artis kampung, hehe,” kata Neni tertawa.
Bagai langit dan bumi, dahulu Neni dan Mamet sangat berbeda. Tak hanya tentang miskin dan kaya, tapi juga soal ketertarikan dengan dunia pendidikan. Mamet yang cenderung abai, memilih tidak melanjutkan sekolah. Lain halnya dengan Neni meski ekonomi minim, ia tak pantang menyerah pada keadaan, dikejarnya beasiswa sampai lulus kuliah. Widih, mantap amat sih Teh.
Hingga Neni lulus, ia sebenarnya sudah hampir menikah dengan lelaki pilihan orangtua. Biasalah, sang calon imam pastilah orang kaya. Namun lantaran Neni termasuk wanita berpendidikan, ia tak langsung menerima. Karena satu dan lain hal, Neni justru menolaknya, padahal ayah ibu sudah menyebarkan berita pernikahan. Oalah.
Tak ayal, berita pernikahan itu pun terdengar di telinga Mamet. Pupuslah harapannya melamar sang pujaan hati. Di tengah keributan antara Neni dan kedua orangtua, ada Mamet yang galau tingkat dewa. Namun, dua bulan kemudian jangankan acara pernikahan, surat undangan pun tak datang.
Seolah tak mau jatuh kedua kalinya, tanpa basa-basi, Mamet dan keluarga datang ke rumah Neni. Seolah sudah ditakdirkan Tuhan, Neni bersikap lembut dan menerima Mamet apa adanya. Jadilah mereka sepakat menuju jenjang pernikahan. Mengikat janji sehidup semati, Mamet dan Neni resmi menjadi sepasang suami istri.
Dengan harta yang dimiliki, Mamet membangun rumah sederhana untuk hidup bersama. Setahun usia pernikahan, mereka dikaruniai anak pertama, membuat hubungan semakin mesra. Pokoknya, rumah tangga mereka diselimuti kebahagiaan.
Seiring berjalannya hari, bisnis Mamet semakin meningkat. Keluarganya juga tak pernah kekurangan ekonomi. Hingga terjadi suatu peristiwa, mungkin inilah dilema menjadi orang kaya. Pelit salah, baik pun salah. Mamet yang terkenal kedermawanannya, tak bisa menolak permintaan beberapa warga yang datang meminta bantuan. Wih, memang banyak yang datang, Teh?
“Kalau dihitung mungkin ada 20 orang, mereka datangnya satu-satu, ada yang alasan buat berobat anak, biaya sekolah, rumah rusak, semua pinjam uang,” tukas Neni.
Yang membuat Neni geram, bukan hal itu saja yang terjadi pada suaminya. Katanya, pernah suatu waktu Mamet membagi-bagikan uang ke orang satu kampung lantaran kena kibul warga. Oalah, ini Kang Mamet sudah kayak politikus yang mau nyalon saja segala bagi-bagi uang.
Kejadian ini bermula ketika Mamet dipanggil untuk datang ke acara musyawarah di salah satu rumah. Di sana mulailah strategi dilancarkan, salah seorang bercerita kepedihan yang dialami selama ini karena kemiskinan sampai membuat Mamet tersentuh.
Keesokannya, Mamet datang membawa uang. Parahnya, hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan sang istri. Hingga kabar uang gratis itu menyebar dan terdengar di telinga Neni. Ketika tahu uang itu dari sang suami, Neni mengamuk memarahi. Dibantingnya perabotan rumah serta ia keluarkan lembaran uang dari tasnya.
“Nih kasihin saja nih ke orang semuanya. Biarin kita makan pakai tanah, bagi-bagiin sana!” amuk Neni kepada Mamet yang waktu itu hanya bisa diam membisu.
Setelah kejadian itu, terjadilah musyawarah, Mamet mengaku salah. Dengan bantuan ketua RT setempat, Neni memaafkan sang suami. Lalu uang yang sudah dibagikan? Ya, hanya tinggal kenangan.
Waduh, yang sabar ya Teh Neni, selalu jaga Kang Mamet. Semoga langgeng terus sampai mati. (daru-zetizen/zee/dwi/RBG)