Sejak kecil, Totong (31) bukan nama sebenarnya, sering diajak memancing oleh pamannya yang kini telah tiada. Tak disangka, kebiasaannya itu terbawa sampai dewasa. Mulai dari mengoleksi alat pancing berbagai merek, ia pun menghiasi dinding ruang tengah rumahnya dengan foto-foto pengalaman mendapat ikan besar. Widih, itu mah mancing mania banget!
“Ya begitulah, Kang. Dulu dia pernah dapat ikan paus anakan, terus dijual dan uangnya buat beli pancing lagi,” curhat sang istri, sebut saja Enong (28), saat ditemui wartawan Radar Banten di rumahnya.
Hingga suatu hari, lantaran geram melihat kelakuan Totong yang semakin hari semakin tak karuan, ia didesak ayahnya untuk segera mengakhiri masa lajang. Dalam pikiran sang ayah, hanya dengan jalan inilah harapan akan membaiknya perilaku sang anak bisa terwujud.
Tidak ada hujan tidak ada badai, Totong memilih Enong sebagai pasangan hidupnya. Entah mengapa, sang wanita pun tak bisa menjelaskan alasan Totong memilih dirinya. Padahal banyak perempuan lain yang lebih menarik dan cantik.
“Ya, namanya juga jodoh, Kang. Enggak lihat mana cantik mana jelek!” akunya. Berarti Teteh jelek, dong?
“Sembarangan, saya memang enggak terlalu cantik, tapi kan yang penting seksi!” seloroh Enong bangga.
Seperti diceritakan Enong, kisah cintanya bersama sang suami berawal ketika ia tertarik dengan penampilan Totong yang nyentrik. Lelaki yang dulu sering buat onar di sekolah itu mampu menarik perhatian kaum hawa. Dengan rambut lurus belah tengahnya, ia menjadi magnet bagi cewek-cewek remaja kampung.
Katanya nih ya, dulu, saking banyaknya wanita yang mengantre, Enong bahkan rela menjadi pacar kedua Totong. Penampilan keren dengan isi kantong yang tebal, membuat masa muda Totong dikelilingi wanita cantik. Maklumlah, Totong terlahir sebagai anak pengusaha sukses.
Kehidupan yang serba berkecukupan membuat Totong lupa kalau masa depan tidak selamanya ditanggung orangtua. Anak kedua dari empat bersaudara itu banyak menghamburkan uang untuk memuaskan hobinya. Padahal, adik-adiknya masih bersekolah, adik ketiga di pesantren, sedang adik keempat masih SMP.
Parahnya, ketika memasuki usia 27, Totong masih meminta uang kepada orangtua. Oalah. Tak hanya kaya, keluarganya juga memiliki latar belakang keagamaan yang kuat, tetapi lantaran Totong menolak dipondokkan saat remaja, ia sering mengabaikan nasihat saudara terkait perilaku keseharian yang bagi mereka dianggap membuang-buang waktu.
Bahkan, saking kecanduannya memancing, tak jarang ia selalu ikut. Jika ada perlombaan memancing tingkat kota maupun antar kampung sekalipun, tak peduli seberapa jauh jarak dan waktu yang ditempuh, ia akan melakoninya. Itu semua demi menyalurkan hobi memancing. Weleh-weleh.
Di awal pernikahan, Totong termasuk suami yang bertanggung jawab. Meski masih tinggal satu atap bersama orangtua, ia selalu bisa mengambil hati ayah dan ibunya dengan sikap dewasa yang ia tunjukkan. Bersama Enong, ia membangun bahtera rumah tangga keluarga kecilnya.
Mengetahui perubahan sikap sang anak yang perlahan mulai menemukan jati diri, tentu sang ayah turut berbahagia. Meski begitu, Totong masih belum bisa hidup mandiri lantaran kerap diam-diam mengambil uang di toko milik usaha keluarga. Waduh, maling dong?
“Ya enggak maling juga, itu kan punya keluarga dia. Tapi, bapaknya bakal marah besar kalau sampai ketahuan,” aku Enong.
Parahnya, hal semacam itu sudah sering terjadi. Meski cuma tiga ratus sampai lima ratus ribu, tetapi Nur pun sadar, itu akan menjadi masalah besar jika dilakukan terus-menerus.
Mengetahui akan hal itu, sebagai istri, tentu Enong tak bisa berbuat banyak. Bukan sekali dua kali ia mengingatkan suaminya agar mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Namun, lagi-lagi Totong tak mau mendengarkan nasihatnya.
Tak tahan dengan kondisi perekonomian yang masih bergantung pada orangtua, Enong geram juga. Keseharian Totong dihabiskan hanya untuk kegiatan yang tidak produktif. Pagi sampai siang tidur, sorenya mancing sampai larut malam. Begitu terus setiap hari.
Pertengkaran pun terjadi. Enong pulang ke rumah orangtua. Sedangkan Totong masih menjalani kehidupannya seperti biasa. Jika sudah begini, lagi-lagi keluarga yang kena batunya. Tak mau menanggung malu atas konflik yang terjadi antara Totong dan Enong. Akhirnya, sang ayah kembali menyatukan keluarga kecil Totong dengan memberinya modal untuk membuka usaha. Totong pun kembali membujuk sang istri untuk pulang. Dengan modal yang diberikan ayahnya, ia berjanji akan membuka usaha warung aksesori di pasar.
Meski masih merintis, Enong tetap bahagia dan menuruti permintaan suami. Baginya, usaha sekecil apa pun yang dilakukan suaminya merupakan awal dari sesuatu yang besar yang akan bermanfaat bagi masa depan keluarga.
Totong memulai bisnis aksesori di salah satu pasar terbesar di Kota Serang. Warung sederhana yang berlokasi di pinggir jalan, mulai dipenuhi oleh barang dagangan. Berbagai macam aksesori motor, gantungan kunci, dan yang lainnya, kini menjadi bagian dari perjuangan Totong dan Enong dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Usahanya itu berjalan sebagaimana pebisnis pada umumnya, terkadang ramai, terkadang juga sepi pembeli. Tiga bulan berjalan, Totong mulai kehilangan gairah, ia tak lagi mengisi warungnya dengan barang dagangan. Akhirnya, warung itu pun dibiarkan kosong menemui ajalnya alias bangkrut. Kok bisa bangkrut sih, Teh?
“Bagaimana enggak bangkrut. Dia dagangnya enggak serius. Bukannya dijaga yang benar, ini malah kelayaban mancing terus!” amuk Enong. Ya ampun.
Kini, Totong dan Enong masih berjuang mempertahankan bahtera rumah tangga. Mereka mencoba berbagai usaha bisnis industri kreatif seperti produksi mainan anak dan lain-lain. Semoga Kang Totong dan Teh Enong selalu langgeng dan bisnisnya maju. Amin. (daru-zetizen/zee/ira)