SERANG – Nilai kerugian keuangan negara dari kasus korupsi yang terungkap di Banten terus turun. Penurunan nilai kerugian keuangan negara itu tidak berbanding lurus dengan jumlah kasus yang diungkap aparat penegak hukum.
Hasil penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Banten Bersih mencatat total nilai kerugian keuangan negara mencapai Rp241 miliar dari 41 kasus korupsi di Banten selama empat tahun terakhir. Namun, selama tiga tahun terakhir, terdapat tren penurunan nilai kerugian keuangan negara dari hasil pengungkapan kasus korupsi tersebut. Pada 2014, ICW dan Banten Bersih mencatat kerugian keuangan negara mencapai Rp126 miliar yang berasal dari 15 kasus korupsi di Banten. Pada 2015, nilai kerugian keuangan negara turun menjadi Rp54 miliar dari pengungkapan delapan kasus korupsi di Banten.
Nilai kerugian keuangan negara terus turun menjadi Rp36 miliar pada 2016. Nilai tersebut didapat dari 11 kasus korupsi.
Pada 2017, nilai kerugian negara dari pengungkapan kasus korupsi terus turun. Kerugian keuangan negara menjadi Rp9,4 miliar dari 11 kasus korupsi yang diungkap. “Berdasarkan pemetaan kami, memang ada tren penurunan dari 2014 sampai 2017. Sedangkan tahun 2018, potensi kerugian keuangan negara semester awal Rp14,2 miliar,” kata peneliti Banten Bersih Deny Permana di salah satu hotel di Kota Serang, Kamis (12/7).
Kasus korupsi itu tersebar hampir di seluruh pemerintah kabupaten kota di Banten. Perinciannya, Pemprov Banten enam kasus, Pemkab Serang sepuluh kasus, Pemkab Pandeglang dan Lebak masing-masing tujuh kasus. Disusul, Pemkot Serang dan Pemkot Tangerang masing-masing lima kasus, Pemkab Tangerang dan Pemkot Cilegon masing-masing empat kasus. Terakhir, Pemkot Tangsel tiga kasus.
“Tren penurunan itu ada beberapa sebab. Hanya, paling utama, itu produktivitas aparat penegak hukum. Misalnya, ada laporan tidak ditindaklanjuti atau kasus-kasus tersebut dihentikan,” kata Deny.
Deny mengatakan, ada dua sektor yang kerap menjadi sasaran empuk koruptor di Banten. Kedua sektor itu, yakni kesehatan dan pendidikan. Selama empat tahun, tercatat ada tujuh kasus korupsi sektor kesehatan, sektor pendidikan dan pengairan enam kasus, pertanahan dan keuangan daerah tiga kasus. Serta dua kasus korupsi untuk masing-masing sektor pertanian, perizinan, dan pemadam kebakaran.
“Sektor perumahan, perbankan, peradilan, penanggulangan bencana, pemilu, pariwisata, koperasi, energi dan listrik, serta aset masing-masing sebanyak satu kasus,” beber Deny.
Sementara Koordinator Banten Bersih Gufroni mengatakan, ada beberapa kasus korupsi yang menjadi penyumbang terbesar kerugian keuangan negara. Di antaranya, kasus pemberian dan penggunaan kredit PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Barat dan Banten (BJB) Cabang Tangerang. Perkara yang disidik Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 2014 itu merugikan keuangan negara sebesar Rp99 miliar.
Lalu, kasus korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) kedokteran umum di RSUD Tangsel pada 2012. Negara telah dirugikan Rp20 miliar. Disusul kasus korupsi pembangunan selter tsunami di Labuan, Pandeglang, tahun 2014. Kerugian negara mencapai Rp18 miliar. Pembangunan Pelabuhan Kubangsari, Kota Cilegon, tahun 2009 yang ditaksir merugikan keuangan negara Rp15 miliar. Terakhir, kasus korupsi Jembatan Kedaung, Tangerang, tahun 2013 dengan kerugian keuangan negara mencapai Rp12 miliar lebih.
“Total sejauh ini ada 51 kasus dengan 112 tersangka. Pengumpulan data yang sudah dipublikasi oleh penegak hukum, baik melalui situs resmi atau melalui media massa,” kata Gufroni.
Dikatakan Gurfoni, tabulasi atas kasus-kasus korupsi itu bertujuan supaya aparat penegak hukum menjadi lebih transparan dalam penanganan kasus korupsi. “Perlu adanya pendamping yang dilakukan oleh lembaga kebijakan barang dan jasa pada saat proses pengadaan agar tidak ada potensi atau celah terjadinya tindak pidana korupsi,” kata akademisi Univeritas Muhammadiyah Tangerang (UMT) itu.
Gufroni memberikan saran agar aparat penegak hukum dapat lebih mengintensifkan koordinasi dalam penanganan kasus korupsi di Banten. “Pemerintah daerah perlu mendorong lebih transparan dalam penggunaan keuangan daerah dan guna mencegah penyelewengan perlu diintensifkan pendampingan serta pemantauan terhadap penggunaan dana desa,” beber Gufroni. (Merwanda/RBG)