CILEGON – Tenaga kerja asing (TKA) yang saat ini bekerja di Kota Cilegon tercatat ada 1.136 orang. Namun, yang baru melakukan perpanjangan izin mempekerjakan tenaga asing (IMTA) per 22 Oktober 2018 hanya 155 orang.
Ketua Komisi II DPRD Kota Cilegon Abdul Goffar menuturkan, saat ini yang menjadi sorotan adalah dari sisi pengawasan dan kemampuan berbahasa yang dimiliki TKA. “Sekarang yang ramai tenaga kerja dari China, Vietnam, atau negara Asia lain kadang-kadang bahasa Inggris enggak bisa, apalagi bahasa Indonesia,” ujar Goffar setelah menerima kunjungan DPRD Kabupaten Pandeglang terkait pembahasan TKA, Rabu (24/10).
Selain tidak memiliki kemampuan berbahasa, pekerjaan yang dilakukan TKA itu pekerjaan non-skill yang bisa dilakukan oleh tenaga kerja lokal. “Karena pengawasan serta perizinan bukan lagi di daerah, ini harus menjadi perhatian serius,” ujar Goffar.
Terkait perizinan yang menjadi persoalan, menurutnya, adalah lembaga yang membutuhkan jasa TKA itu mendatangkan TKA-nya terlebih dulu ke Indonesia, baru mengurus perizinan. “Bukan izin dulu, tapi mendatangkan orangnya dulu. Kita sih berharapnya izin dulu baru datangkan orangnya,” ujarnya.
Kondisi itu, menurutnya, memerlukan pengawasan yang lebih serius untuk memastikan TKA yang bekerja di Kota Cilegon bukan TKA ilegal dan sesuai dengan peraturan yang berlaku berkaitan dengan TKA.
Sekretaris Komisi II DPRD Kota Cilegon Syarif Ridwan mengatakan, dengan beralihnya perizinan TKA dari Pemkot Cilegon ke pemerintah pusat mulai November mendatang maka potensi pendapatan asli daerah (PAD) Kota Cilegon dari sektor TKA hilang. Padahal pendapatan yang dihasilkan dari sektor itu cukup besar untuk menambah pendapatan daerah dan kerap melebihi dari target yang dicanangkan.
“Di tahun ini, dari target sekira Rp2 miliar, sekarang mencapai Rp4 miliar. Itu hebat menurut saya,” ujarnya.
Sesuai dengan ketetapan presiden, perizinan masih berada di pemerintah kabupaten kota hingga 31 Oktober tahun ini. Ia berharap, di sisa waktu yang ada Pemkot Cilegon bisa mengoptimalkan pendapatan di sektor itu.
Menurut Syarif, hasil analisa ada ketimpangan yang cukup signifikan antara potensi dengan pendapatan yang diraih. Ia menjelaskan, jumlah TKA saat ini mencapai lebih dari 1.000 orang, sedangkan biaya perizinan per tahun Rp1,8 juta, jika dihitung, seharusnya pendapatan lebih dari Rp4 miliar.
“Kalaupun beda tidak terlalu jauh. Penghitungan saya kalau 1.200 orang kali Rp1,8 juta per tahun jadi berkisar Rp21,6 miliar. Saya enggak tahu hitungannya seperti apa, yang jelas harus dipertanyakan. Jadi, tolong diperhatikan itu di sisa waktu ini,” ujarnya. (Bayu M/RBG)