Suharyo mengakui dirinya telah menyuruh orang lain untuk memalsukan tanda tangan pengurus KONI Tangsel. Pemalsuan tanda tangan tersebut untuk laporan pertanggungjawaban (lpj). “Saya suruh menirukan tanda tangan yang ikut (pengurus-red). Saya ingin membuat laporan administrasi kalau ini ada (lpj-red), saya akui kesalahan saya,” ungkap Suharyo yang juga menjadi terdakwa dalam kasus tersebut.
Selain membuat laporan fiktif, Suharyo juga tidak membayarkan honor pengurus cabang (pengcab). Setiap pengcab menerima honor Rp15 juta. Dari Rp15 juta tersebut pengcab hanya menerima Rp13 juta dengan alasan dipotong pajak. “Pajak ada yang tidak saya bayarkan karena lupa. Lebih banyak yang tidak dibayarkan (pajak-red),” ungkap Suharyo.
Uang dari penyimpangan perjalanan fiktif dan pajak yang tidak dibayar tersebut digunakan untuk keperluan di KONI Tangsel sesuai dengan arahan Rita Juwita. “Itu ada kegiatan yang tidak tercover anggaran dari cabor (cabang olahraga-red). Misalnya, pembukaan pertandingan sepak bola yang tidak tercover mereka hubungi ketua umum (Rita Juwita-red), ketua umum disposisikan ke saya,” ungkap Suharyo.
Suharyo mengatakan dirinya tidak membuat laporan administrasi terkait pengggunaan dana non budgeter tersebut. “Secara administrasi tidak ada buktinya,” ujar Suharyo menjawab pertanyaan anggota majelis hakim Heryanti Hasan.